Banner 468 x 60px

 

Sunday, March 25, 2018

sejarah dewi sartika

0 comments

*--Dewi Sartika (Masa kecil dan Remaja) --*

Dewi Sartika yang dilahirkan pada tanggal 4 Desember tahun 1884 adalah putri pertama dan anak kedua dari R. Rangga Somanagara, Patih Bandung. Ibunya R.A Rajapermas, putri bupati Bandung R.A.A Wiranatakusumah IV, yang terkenal dengan sebutan dalem bintang.

Dewi sartika, sebagai anak perempuan keturunan priyayi dan memiliki Ayah yang merupakan Patih Bandung, diberikan pendidikan dasar. Meskipun bukan kebijaksanaan umum pada saat itu karena pendidikan lembaga - lembaga (sekolah) masih baru sekalipun untuk golongan priyayi. Tapi pikiran yang baru dari ayahanda menjadikan bekal yang sangat berharga untuk dewi sartika. Sebagai anak dari golongan priyayi, ia termasuk sejumlah kecil yang beruntung diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah kelas satu (eerste klassr school). Sampai suatu kejadian penting dalam keluarga mengakhiri masa sekolah yang pendek itu. Saat dewi sartika duduk di kelas 2B.

Di sekolah kelas satu dewi sartika mendapat pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Bahasa belanda dan pengetahuan lainnya. Dewi sartika pun hidup dalam keluarga yang damai dan indah. Sehingga mampu membentuk kedewasaan dewi sartika. Namun kedamaian terenggut ketika ayahanda dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit pada pertengahan bulam Juli tahun 1893. Hukuman buangan ke ternata membuat pecah keutuhan keluarga, sang Ibu ikut menyertai ayahanda ke tempat buangan. Sumber penghidupan hilang, sehingga anak - anak dititipkan  pada sanak keluarga. Dewi sartika berlainan dengan saudara yang dititipkan diantara leluarga di bandung, bapak tuanya berkenan untuk membawa sartika hidup di tengah keluarga di Cicalengka.

Karena datang dari keluarga yang baru saja dijatuhi hukuman buang, dewi sartika diperlakukan dengan dingin. Dewi sartika tidak dianggap, ditempatkan dibelakang, jauh dari tempat lazim yang dihuni keluarganya atau putri putri anak didiknya. Hal tsb membuat dewi sartika sedih. Namun tidak banyak waktu untuk merasa sedih atau sepi, karena setiap hari ia punya tugas tertentu yang harus diselesaikan. Diantaranya ialah mengantarkan saudara  saudara sepupu pergi ke rumah seorang nyonya belanda untuk belajar bahasa belanda dan menulis membaca. Ia tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pembelajaran. dewi sartika hanya dibolehkan mendengarkan dari luar pintu saja. Tapi karena rasa ingin tahu yang besar dan fikiran yang cerdas, apapun yang ditangkap dari balik pintu telah menambah pengetahuannya.
Pada waktu itu hal yang biasa bahwa pemuda - pemuda yang dididik di sekolah - sekolah  Belanda, berpakaian necis nan rapih mempunyai istri yang sama dari kalangan priyayi sedang dididik dalam kecakapan kewanitaan, tapi tidak bisa membaca dan menulis. Ada kalanya mereka bisa, tapi jauh hari setelah menikah dan diajarkan oleh suaminya. Disamping anggapan orang tua yang masih memiliki pandangan tradisional bahwa wanita ialah kaum yang lemah dan tergantung pada nasib ayah atau suami. Pandangan yang sangat terbatas inilah yang menggugah hati Dewi Sartika muda. Ia melihat satu kekurangan saja, yakni buta huruf dialami rekan wanita seumurannya membuat mereka dibodohi dan diperlakukan semena.

Di lain pihak, buta aksara di kawan-kawannya Cicalengka itu sering terjadi hal yang lucu. Dewi sartika yang penuh humor sering menggoda mereka dengan mengubah isi surat dari para jejaka kepada gadis gadis tsb. Kadang menjadi ratap tangis, kadang menjadi gelak tawa. Kesedihan kemarahan dan kejengkelan tersebut yang menimbulkan hasrat untuk belajar baca tulis. Tidak hanya rangsangan tersebut yang dilakukan dewi sartika untuk mengubah keaadaan buta huruf di lingkungan kediaman Patih Aria, tapi juga dengan perbuatan nyata.

Diantara waktu senggangnya, sambil bermain dengan anak pelayan, di halaman belakang, ataupun di sudut tempat lain, dengan papan atau genting sebagai tempat menulis dan arang sebagai kapur, Uwi mulai mengajarkan aksara. Tekanan - tekanan yang dialaminya sebagai anak buang tidak menyurutkan semangatnya, justru menjadi pemantik untuk bangkit dan tumbuh. Niat untuk mengembalikan nama baik keluarga.

Dari kehidupan yang dialami di Cicalengka, Uwi mengamati bahwa ada sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi pendidikan teman sebayanya. Yaitu kecakapan membaca dan menulis disamping pengetahuan kewaniataan dll. Dari sinilah Uwi terpanggil. Ia ingin berbuat sesuatu untuk kemajuan kaumnya. Mengajarkan membaca menulis dan keterampilan lain pada wanita dirasakannya mampu. Untuk melaksanakan cita-citanya ini, Uwi menyadari bahwa selama masih berdiam bersama Pak Tuanya tidaklah mungkin. Maka ia memutuskan pergi dan kembali ke Bandung. Karena menurutnya Bandung memberi kemungkinan yang lebih baik.
*-- Kembali Ke Bandung --*
kondisi pendidikan jaman itu jauh dibilang dari menguntungkan pihak perempuan. Selain karena adat dan budaya yang menganggap tabu pendidikan untuk perempuan, pemerintah dan orang kebanyakan pun beranggapan bahwa perempuan tak perlu lah mengenyam pendidikan. Cukup laki - laki saja. Tak heran jika angka perempuan yang masuk sekolah pada tahun 1878  hanya 25 orang diantara 12.448 anak laki-laki, sedangkan tahun 1879 jumlahnya meningkat menjadi 301 orang diantara murid laki laki yang berjumlah 24.732 orang.

Para orang tua jaman itu beranggapan bahwa, pendidikan sekolah utama untuk anak perempuan tidak perlu, tidak ada gunanya. Anak perempuan pun dianggap lebih pantas di rumah dan melanjutkan keturunan, pelajaran yang diberikan tidak banyak berguna bagi wanita pribumi. Bahkan ada anggapan bahwa orang takut wibawa orang tua akan berkurang terutama dalam menentukan perkawinan.

Pemerintah juga berpendapat pendidikan untuk kaum pria harus didahulukan dan yang sudah berjalan harus diperbaiki sedang untuk wanita dirasa belum perlu.  Melihat situasi yang seperti inilah, Dewi Sartika terketuk hatinya untuk memulai perjuangan pendidikan bagi kaum Wanita. Ditambah berkaca pada sang Ibunda dimana kecakapannya hanya untuk menyemarakkan kehidupan aristokrat di lingkungan terbatas, dan hiasan kabupaten belala. Untuk mewujudkan keinginan itu, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung kala itu, RAA Martanegara (1893-1918). Pada mulanya Bupati tidak menyetuji niat dewi sartika untuk membuka sekolah untuk anak perempuan. Karena menurutnya mendapat tentangan yang keras dari masyarakat setempat.

_"jangan, perempuan tidak usah sekolah, asal bisa menanak nasi bisa menjahit mengabdi pada suami, sudah lebih dari cukup. Pahalanya surga. Apalagi mau belajar bahasa belanda segala"_

Akan tetapi penolakan ini tidak mengecilkan hati dewi sartika. Berulang kali permohonan diajukan. Pada akhirnya bupati yang tidak menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum wanita ini  dalam hati sebenarnya meluluskan permintaan sartika. _"apabila uwi sudah bulat keinginan, mudahan dimakbul oleh Allah yang menguasai seluruh alam. Kita coba dirikan sekolah. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, sekolah diselenggarakan di pendopo dahulu. Apabila tidak ada apa apa, bisa pindah ke tempat lain"_

Maka pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah *"Sekolah Istri"* (Sekolah Istri: Sekolah Gadis) untukjenisnya yang pertama kali di Indonesia. Murid murid pertama justru berasal dari kalangan biasa, bukan priyayi. Sesuai dengan prinsip yang dipegang Dewi Sartika bahwa Sekolahnya terbuka untuk siapa saja. Sambutan atas prakarsa dewi sartika mendapat kecaman dan cemoohan dari kalangan wanita priyayi. Dewi sartika telah menentang adat kebiasaan bangsawan, bekerja keras dengan tenaga dan budi akal demi kelangsungan sekolahnya, kata para wanita priyayi.
*-- Perjalanan --*

Animo untuk menjadi murid Sekolah Istri cukup besar  tempat tersedia yang terletak di halaman kabupaten sebelah barat tidak cukup menampung murid baru dan akhirnya pada tahun 1905 dipindah ke Jalan Ciguriang, tempat yang sekarang masih digunakan  sbg tempat belajar sekolah sekolah Yayasan Dewi Sartika. Banyak kelas sudah bertambah, pun halnya dengan pengajar yang terdiri dari para wanita priyayi yang dididik secara tradisional sukarela membantu Uwi.

Penyempurnaan rencana pelajaran dilakukan. Pedoman Pola pendidikan yang dilaksanakan seperti sekolah - sekolah pemerintah pada waktu itu, dengan menekankan pada pelajaran - pelajaran ketrampilan wanita seperti menjahit, menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, PPPK, memelihara bayi dan pelajaran agama. Disini yang menarik adalah, bahwa pelajaran agama baru diberikan di Lembaga Pendidikan untuk pertama kalinya. Karena sekolah pemerintah maupun sekolah swasta (kecuali sekolah swasta berasaskan agama) tidak memberikan pelajaran semacam ini.

Pada tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Suriawinata, seorang guru kemudian menjadi Kepala Sekolah Sekolah kelas Satu, Karang Pamulang. Perkawinan ini tidaklah menjadi penghalang bagi cita - cita dan karier Dewi sartika, bahkan sebaliknya suaminya memberikan pengertian dan bantuan sepenuhnya kepada istrinya. Pekerjaan suami sebagai guru banyak membantu dibarengi disiplin diri dan pembagian waktu yang tepat sehingga tercipta keserasian dalam menghadapi tugas rumah tangga dan pekerjaan.


Karena pertambahan murid setiap tahun cukup besar, pada tahun 1909 diadakan perbaikan, bantuan pun banyak diterima. Perhatian masyarakat dan pemerintah sudah mulai tampak, Sekolah Istri berubah namanya pada tahun 1910 menjadi "Sekolag Kautamaan Istri". Pada tahun 1913, dari laporan yang diajukan kepada Inspektur Pendidikan Bumiputera terdapat 358 orang siswi.

Pada tahun 1913 dibuka Sekolah Kautamaan Istri II di kota - kota di Pasundan dan Minangkabau. Hingga tahun 1926 total ada 8 sekolah yang terbentuk secara bertahap. Tugas seorang Dewi Sartika sebagai Kepala Sekolah dan ibu rumahtangga tidak membuat ia kehilangan kedisiplinan. Setiap pagi Uwi sudah tiba di sekolah, sebelum pukul 7. Siap bekerja sebelum lonceng berbunyi. Ditengah kesibukannya Uwi masih mempunyai cukup perhatian terhadap masalah - masalah yang sedang terjadi di Masyarakat. Terutama masalah yang menyangkut kemajuan dan peningkatan derajat wanita. Salah satunya adalah permasalahan pelacuran. Menurut Uwi, memberantas pelacuran sangat sukar selama gadis - gadis tidak mampu hidup berdiri sendiri di atas kaki sendiri karena mereka tidak dididik untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
*-- Memetik Hasilnya --*

Menurut Dewi Sartika, wanita yang telah melewatkan sebagian dari tahun - tahun remajanya dalam asuhan pendidikan Kautamaan Istri hendaknya menjadi wanita "Nu bisa hirup!" Yakni, yang bisa hidup. Dimana wanita dapat dan mampu menghadapi tantangan zamannya.

Dari tahun ke tahun pendidikan wanita pun menunjukkan perkembangan pesatnya. Pada tahun 1924 ada 92.621 perempuan diantara 685.222 keseluruhan yang menuntut ilmu di sekolah desa - desa. Pemerintah pun memberi subsidi dan tenaga guru. Bahkan Sekolah Kautamaan Istri dijadikan semacam show piece atau model dari jenisnya. Para pejabat pendidikan meluangkan waktu untuk meninjau kemajuan Sekolah tersebut. Bahkan pada waktu tertentu, permintaan pendaftar sekolah tidak dapat terpenuhi karena membeludaknya.

Pada tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa perak kepada Raden Dewi Sartika. Pada tahun 1929 bersamaan dg genapnya 25 tahun Sekolah kautamaan istrix berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Pada upacara peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi, Dewi sartika mendapat bintang jasa emas dari Pemerintah.


0 comments:

Post a Comment