Banner 468 x 60px

 

Thursday, April 5, 2018

sejarah Dr Cipto Mangunkusumo

0 comments

Image result for Dr Cipto Mangunkusumo
Dr Cipto Mangunkusumo

Cipto pernah berkata “Aku adalah anak dari rakyat, anak si kromo…..” demikianlah kata-kata Cipto muda tatkala menjadi murid di STOVIA. dari buku biography Dr Cipto Mangunkusumo pada halaman awal. Cipto seolah-olah ingin menunjukan bahwa dia adalah golongan rakyat jelata yang pada saat itu dianggap terbelakang yang tidak berhak dan pantas sejajar dengan orang-orang belanda.  Benarkah Cipto berasal dari rakyat biasa? Lantas bagaimana Cipto bisa mengenyam pendidikan hingga bisa menjadi dokter? Dan bagaimana pula seorang dokter dapat terjun dalam dunia politik hingga mendirikan partai politik?
Dari Lahir sampai Kuliah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pertanyaan di atas, ada baiknya kita mengetahui latar belakang kehidupan mulai kecil hingga dewasa. Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, kota Jepara. Putra pertama dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Jepara. Tanahnya luas dan sebagian besar disewa oleh pabrik gula untuk ditanami tebu, daerah ini pula merupakan potret berlakunya Culture Stelsel pada masa kolonial Belanda.
Bu Mangunkusumo menamakan anaknya Cipto yang artinya adalah Ciptaan. Hal ini jelas bahwa keluarga Mangunkusumo memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Maha Pencipta atas segala sesuatu. Termasuk anak yang dilahirkan Bu Mangunkusumo Tuhanlah yang menciptakannya. Bayi cipto ditandai dengan keningnya yang lesung yang menurut omongan orang jawa suatu pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang yang pandai. Secara rasional kita tidak dapat menyimpulkan atau membenarkan ramalan tersebut. Namun demikian kita telah melihat fakta bahwa Cipto merupakan sosok yang pandai atau mempunyai kecerdasan yang tinggi.
Saudara Cipto berjumlah 11 orang dan dia yang tertua dari 11 bersaudara. Adik-adiknya bernama Budiharjo (1887), Gunawan (1889), Badariyah (1895), Samsul Ma’arif (1897), Murtinah (1899), Darmawan (1901), Kartono (1907), Kartini (1901) dan yang paling bungsu bernama Suyitno (1909). Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Dari 11 anaknya  ada yang menjadi dokter yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif yang lulus dari sekolah STOVIA di Batavia. Darmawan, adiknya bahkan berhasil menjadi Insinyur dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa STIH Jakarta kala itu.
Semasa kanak-kanak, Cipto sudah menunjukkan watak yang berkobar-kobar, melakukan perbuatan yang nakal, tetapi cerdas dan bersifat kesatria. Hal ini dapat terlihat kelak sebagai seorang dokter, dia sangat menguasai bidangnya dan penguasaan pengetahuannya dalam bidang kepemimpinan, politik, filsafat maupun seni dll, dapat dikatakan dari semua saudara Ciptolah yang terpandai.
Setelah Cipto berumur 6 tahun oleh orangtuanya Cipto disekolahkan di sekolah Belanda di Ambarawa. Semuda itu dia sudah harus berpisah dengan orang tuanya dan adiknya-adiknya. Disinilah nampak pemikiran pak Mangunkusumo yang ingin memajukan pendidikan anak-anaknya. Ambarawa dipilihnya sebagai tempat pendidikan bagi Cipto. Ambarawa adalah kota yang cukup maju waktu itu. Di kota pegunungan dengan pemandangan yang indah dan sejuk itu banyak bermukim orang-orang Belanda. Pemandangan yang indah dan hawanya yang cukup sejuk membuat kerasan orang-orang Belanda. Disebelah selatan Ambarawa terbentang rawapening, dilembah Rawa Pening itulah dibangun benteng oleh Belanda , karena itu tidak mengherankan kalau di kota Ambarawa berdiri sekolah-sekolah bagi kepentingan orang Belanda.
Bagi pak Mangunkusumo yang mencita-citakan kemajuan bagi anak-anaknya yakni agar setaraf dengan anak-anak bangsa kulit putih, adalah wajar untuk mengirimkan Cipto semuda itu ke ambarawa. Dan bersekolah di Europeesche lagere school di kota tersebut. Di Ambarawa Cipto tinggal pada keluarga Mangunwardoyo yakni saudara sepupu Mangunkusumo.
Bakat memimpin Cipto sudah terlihat sejak anak-anak, teman-teman sebayanya senang bergaul dengan dia dan dialah yang seolah-olah sebagai pemimpinnya. Sebagai anak-anak pada umumnya, kenakalan-kenakalan sudah pasti ada dalam dunianya, pernah suatu ketika bu Mangunwardoyo di datangi cina dengan pakaian traditional dan rambut kuncir panjangnya yang khas. Cina itu marah kepada bu Mangunwardoyo karena anaknya menarik rambut kuncir orang cina itu. Anak itu tidak lain adalah Cipto.
Umur 12 tahun lulus Cipto lulus dari Europeeshe lagere school di ambarawa dan mencoba ikut ujian klein ambtenaar (pegawai pahreh praja) dan lulus nomor satu. Pada waktu dia ke Purwodadi, Cipto dibawa ke Kabupaten oleh orang tuanya yaitu pak Mangunkusumo. Yang pada waktu itu menjadi guru di sekolah dikota tersebut.
Karena hasil ujian Cipto sangat bagus, oleh istri Bupati Purwodadi yang masih ada hubungan family dengan bu Mangunkusumo diadakanlah slamatan, syukuran dan pesta alakadarnya dengan permainan wayang kulit semalam suntuk. Pada saat itulah pak Cipto menanyakan sekolah lanjutan yang Cipto inginkan. Dengan sangat mengejutkan Cipto menolak untuk menjadi pegawai. Dimana saat itu memang sekolah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pegawai kolonial Belanda didaerah”.
Jawaban Cipto sangat mencengangkan bagi orang yang mendengarnya, dimana pada saat itu memang lingkungan masyarakat pada waktu itu adalah masyarakat feodal. Yang masih ketat dalam masalah jongkok dan sembah.
Pak Mangunkusumo kemudian memberikan pandangan kepada Cipto tentang sekolah dokter yang baru dibuka di kota Betawi. Dengan pasti Cipto mengiayakan untuk melanjutkan sekolah dokter dgn waktu tujuh tahun lamanya kala itu.
Di STOVIA, Cipto termasuk golongan siswa terbaik. Bakatnya yang besar itupun diketahui oleh gurunya, “En begaufld leerfing” (murid yang berbakat besar) kata gurunya. Cipto adalah anak yang selalu menunjukkan kesungguhan tampak dari raut wajahnya. Sekilas pandang Cipto nampak sebagai seorang pendiam, namun hal itu tak berarti dia tak pernah tertawa. Kalau tertawa, terasa sejuklah bagi siapa saja yang mendengarnya. Dia juga siswa yang paling sering mendebat dan berpidato. Dari pada pergi berpesta lebih suka dia dikamar membaca buku atau datang ke ceramah-ceramah.
Sebagai anak yang baru belasan tahun umurnya (dia masuk stovia umur 13 tahun, 1-3-1899, dan keluar umur 19 tahun, 28-10-1905). Harta –benda yang paling berharga yang dia bawa tatkala dia dibuang di pulau Bangka tak lain ialah buku-bukunya. Tatkala kembali kejawa dari pembuangannya buku-bukunya tak ketinggalan pula. Cipto adalah anak yang adaftif dalam menghadapi kesulitan setelah dia terlepas dari lingkungan orang tuanya.
Namun kita juga tidak mengetahui apakah Cipto terhitung anak yang sulit selagi masih di rumah. Dapat juga tidak demikian. Kita bisa melihat bahwa memang lingkungan keluarga Mangunkusumo dan Istri termasuk keluarga berkecukupan dan tergolong bangsawan Jawa. Yang jelas setelah hidup dalam lingkungan sekolah nampak jiwanya mendapat jalan untuk berontak terhadap keadaan sekelilingnya yang menekan jiwanya, sedangkan dirumah ikatan tradisi sangat kuat.
Dokter sebagai Profesi
lapangan kedokteran adalah tempat yang paling sesuai untuk bergerak dalam membela bangsanya. Karena seorang dokter dapat bebas untuk bergerak tanpa tergantung hidupnya (gaji) dari pemerintah belanda. Tidak seperti pegawai pemerintah yang hidupnya sangat tergantung terhadap tuannya.
Akan tetapi terikat dengan syarat-syarat yang berlaku di STOVIA, Cipto harus menjalankan tugas dinas sebagai dokter pemerintah selama beberapa tahun, dia ditugaskan di Batavia sejak lulus tahun 1905. Tahun 1906 dia dipindahkan di Demak, Jawa Tengah sampai 1908.
Kesenangannya menulis nampak jelas sejak tahun 1907 di harian The Locomotief. Isinya terutama berkaitan dengan kondisi masyarakat yang tidak sehat. Cipto mengkritik bahwa hubungan feudal dan kolonialisme adalah sumber penderitaan rakyat. Dalam hubungan feudal, rakyat umum sangat terbatas ruang gerak dan aktivitasnya. Dalam masyarakat feudal berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib sesorang dan bukan keahlian ataupun kemampuan. Sehingga bagi anak desa akan tetap tertinggal dan terbelakang dari anak Bupati atau ningrat lainnya.
Suatu dalil dalam sejarah kolonial yang telah diketahui umum ialah bahwa pemerintah kolonial bersendikan perbedaan warna kulit sehingga masyarakat terbagi dalam dua golongan yang dipisahkan oleh colour line (garis warna). Diskriminasi membawa perbedaan diberbagai hal misalnya dalam hal hukum, soal pengadilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja seperti rodi dan kerja desa. Yang menjadi ukuran dari semua itu adalah warna kulit. Bangsa Indonesia tidak mendapatkan kesempatan untuk berdagang dan mendapatkan pendidikan secara layak dan adil. Tidak sembarang anak Indonesia yang boleh masuk ke sekolah eropa. Dan tidak ada pula orang Indonesia yang berani untuk menembus batas larangan dan diskriminasi. Tetapi tidak untuk Cipto, sebagai protes Cipto terhadap diskriminasi ras itu seringkali Cipto bertindak aneh-aneh terhadap pemerintah kolonial salah satunya dengan mengkritik melalui tulisan
Karena tulisannya yang begitu berani mengkritik pemerintah kolonial, Cipto sering mendapat teguran dari atasannya. hingga akhirnya Cipto pun memilih keluar dari ikatan dinas dengan konsekuensi harus mengembalikan uang ikatan dinas yang tidak sedikit. Walaupun berat jalan itu ditempuh demi kebebasan gerak cipto untuk membela bangsanya.
Jabatan ikatan dinas ia tinggalkan lantas ia meninggalkan pula kota Demak dan berpindah ke kota Solo. Di Solo Cipto membuka praktek kedokterannya sebagai dokter partikelir. Disinilah Cipto mengenyam kebebasan dalam membela rakyat melalui jarum suntiknya. Tidak sedikit pasien yang memang tidak mampu dalam berobat hingga akhirnya pun cipto menggratiskan pengobatan bagi yang tidak mampu, bahkan memberikan bantuan uang untuk membeli obat perawatan.
Karena itu tidak mengherankan kalau seringkali keuangan keluarganya mengalami defisit. Keadaan demikian juga dialami setelah Cipto pulang dari pembuangan di negeri belanda tahun 1914 dan untuk kedua kalinya dia tinggal di Solo. Namun Cipto dengan istrinya yang kedua seorang Belanda dari keluarga De Vogel, dapat merasakan kebebasan karena kebebasannya dalam menolong rakyat. Nyonya de vogel walaupun seorang Belanda asli, akan tetapi justru pengorbanannya begitu besar dalam berjuang membela rakyat Indonesia bersama Cipto suaminya. Cipto memang mendapatkan seorang pendamping yang sangat tepat sekali dalam perjuangan politiknya.

Menulis Wujud Perlawanan

Melalui De Locomotief, surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Sebagai seorang dokter yang menguasai bidangnya maka ditahun 1914 mengemukakan suatu uraian ilmiah tentang penyakit pes uraiannya itu dikemukakannya dalam suatu sidang raya di s’Gravenhage, Nederland. Uraian itu berisi tentang pengendalian wabah pes yang sempat melanda indonesia. Dengan uraian yang ditulis dan dipidatokan dalam bahasa Belanda, Cipto telah menunjukan dan membuktikan kepada belanda bahwa pribumi mampu menyamai bangsa kulit putih di bidang intelektual dan bangsa kulit berwarna bukan bangsa rendahan.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda nya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Pada tahun 1912 Cipto juga sempat menjadi anggota redaksi penerbitan harian De Express dan majalah het Tijdschrijft di Bandung. Cipto ingin menjadi anggota redaksi tak lain agar dekat dengan Douwes Dekker. Cipto dan Douwes Dekker merupakan tokoh yang sehaluan. Cipto dan Douwes Dekker sudah kenal sejak Douwes Dekker masih bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.  Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Maka dilakukanlah Aksi Komite Bumi Putera yang mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Pun ketika masa-masa pembuangan, Selain menjalankan profesi sebagai dokter partikelir Cipto hidup dengan perjuangannya melalui tulisan. Seperti halnya ketika dia dibuang di Belanda.  Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik Indische Partij dengan menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda. 

Penghasilan
Sumber penghasilan Cipto Selama masa perjuangan dapat disimpulkan berasal dari profesinya sebagai dokter, baik ketika menjadi dokter ikatan dinas pemerintah kolonial belanda maupun ketika membuka praktek sebagai dokter partikelir. Selain penghasilan dari dokter kemungkinan Cipto mendapatkan penghasilan melalui tulisan-tulisan yang dia buat di berbagai Harian maupun majalah kala itu. Walaupun secara tersirat tidak di jelaskan dalam buku biography Dr Cipto Mangunkusumo bahwa Cipto mendapatkan imbalan atas tulisan-tulisan yang dia buat tetapi kita bisa melihat dari kisah Hatta yang juga mendapatkan penghasilan sampingan melalui tulisan. 
  

Rujukan Utama:
Soegeng reksodihardjo, 2012, Dr Cipto Mangunkusumo, Cetakan ketiga, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


0 comments:

Post a Comment