Dr Cipto Mangunkusumo
Cipto pernah berkata “Aku adalah anak
dari rakyat, anak si kromo…..” demikianlah kata-kata Cipto muda tatkala menjadi
murid di STOVIA. dari buku biography Dr Cipto Mangunkusumo pada halaman awal.
Cipto seolah-olah ingin menunjukan bahwa dia adalah golongan rakyat jelata yang
pada saat itu dianggap terbelakang yang tidak berhak dan pantas sejajar dengan
orang-orang belanda. Benarkah Cipto
berasal dari rakyat biasa? Lantas bagaimana Cipto bisa mengenyam pendidikan
hingga bisa menjadi dokter? Dan bagaimana pula seorang dokter dapat terjun
dalam dunia politik hingga mendirikan partai politik?
Dari
Lahir sampai Kuliah
Sebelum membahas lebih jauh tentang
pertanyaan di atas, ada baiknya kita mengetahui latar belakang kehidupan mulai
kecil hingga dewasa. Cipto
Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, kota Jepara. Putra
pertama dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat
Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru di sebuah sekolah dasar di
Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang
dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Jepara. Tanahnya luas
dan sebagian besar disewa oleh pabrik gula untuk ditanami tebu, daerah ini pula
merupakan potret berlakunya Culture Stelsel pada masa kolonial Belanda.
Bu Mangunkusumo menamakan anaknya Cipto
yang artinya adalah Ciptaan. Hal ini jelas bahwa keluarga Mangunkusumo memiliki
kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Maha Pencipta atas segala sesuatu.
Termasuk anak yang dilahirkan Bu Mangunkusumo Tuhanlah yang menciptakannya.
Bayi cipto ditandai dengan keningnya yang lesung yang menurut omongan orang
jawa suatu pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang yang pandai. Secara
rasional kita tidak dapat menyimpulkan atau membenarkan ramalan tersebut. Namun
demikian kita telah melihat fakta bahwa Cipto merupakan sosok yang pandai atau
mempunyai kecerdasan yang tinggi.
Saudara Cipto berjumlah 11 orang dan dia
yang tertua dari 11 bersaudara. Adik-adiknya bernama Budiharjo (1887), Gunawan
(1889), Badariyah (1895), Samsul Ma’arif (1897), Murtinah (1899), Darmawan
(1901), Kartono (1907), Kartini (1901) dan yang paling bungsu bernama Suyitno
(1909). Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang
tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya
pada jenjang yang tinggi. Dari 11 anaknya
ada yang menjadi dokter yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif yang
lulus dari sekolah STOVIA di Batavia. Darmawan, adiknya bahkan berhasil menjadi
Insinyur dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari
ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar
sebagai mahasiswa STIH Jakarta kala itu.
Semasa kanak-kanak, Cipto sudah
menunjukkan watak yang berkobar-kobar, melakukan perbuatan yang nakal, tetapi
cerdas dan bersifat kesatria. Hal ini dapat terlihat kelak sebagai seorang
dokter, dia sangat menguasai bidangnya dan penguasaan pengetahuannya dalam
bidang kepemimpinan, politik, filsafat maupun seni dll, dapat dikatakan dari
semua saudara Ciptolah yang terpandai.
Setelah Cipto berumur 6 tahun oleh
orangtuanya Cipto disekolahkan di sekolah Belanda di Ambarawa. Semuda itu dia
sudah harus berpisah dengan orang tuanya dan adiknya-adiknya. Disinilah nampak
pemikiran pak Mangunkusumo yang ingin memajukan pendidikan anak-anaknya.
Ambarawa dipilihnya sebagai tempat pendidikan bagi Cipto. Ambarawa adalah kota
yang cukup maju waktu itu. Di kota pegunungan dengan pemandangan yang indah dan
sejuk itu banyak bermukim orang-orang Belanda. Pemandangan yang indah dan
hawanya yang cukup sejuk membuat kerasan orang-orang Belanda. Disebelah selatan
Ambarawa terbentang rawapening, dilembah Rawa Pening itulah dibangun benteng
oleh Belanda , karena itu tidak mengherankan kalau di kota Ambarawa berdiri
sekolah-sekolah bagi kepentingan orang Belanda.
Bagi pak Mangunkusumo yang
mencita-citakan kemajuan bagi anak-anaknya yakni agar setaraf dengan anak-anak
bangsa kulit putih, adalah wajar untuk mengirimkan Cipto semuda itu ke
ambarawa. Dan bersekolah di Europeesche lagere school di kota tersebut. Di
Ambarawa Cipto tinggal pada keluarga Mangunwardoyo yakni saudara sepupu
Mangunkusumo.
Bakat memimpin Cipto sudah terlihat
sejak anak-anak, teman-teman sebayanya senang bergaul dengan dia dan dialah
yang seolah-olah sebagai pemimpinnya. Sebagai anak-anak pada umumnya,
kenakalan-kenakalan sudah pasti ada dalam dunianya, pernah suatu ketika bu
Mangunwardoyo di datangi cina dengan pakaian traditional dan rambut kuncir
panjangnya yang khas. Cina itu marah kepada bu Mangunwardoyo karena anaknya
menarik rambut kuncir orang cina itu. Anak itu tidak lain adalah Cipto.
Umur 12 tahun lulus Cipto lulus dari
Europeeshe lagere school di ambarawa dan mencoba ikut ujian klein ambtenaar
(pegawai pahreh praja) dan lulus nomor satu. Pada waktu dia ke Purwodadi, Cipto
dibawa ke Kabupaten oleh orang tuanya yaitu pak Mangunkusumo. Yang pada waktu
itu menjadi guru di sekolah dikota tersebut.
Karena hasil ujian Cipto sangat bagus,
oleh istri Bupati Purwodadi yang masih ada hubungan family dengan bu
Mangunkusumo diadakanlah slamatan, syukuran dan pesta alakadarnya dengan
permainan wayang kulit semalam suntuk. Pada saat itulah pak Cipto menanyakan
sekolah lanjutan yang Cipto inginkan. Dengan sangat mengejutkan Cipto menolak
untuk menjadi pegawai. Dimana saat itu memang sekolah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pegawai kolonial Belanda didaerah”.
Jawaban Cipto sangat mencengangkan bagi
orang yang mendengarnya, dimana pada saat itu memang lingkungan masyarakat pada
waktu itu adalah masyarakat feodal. Yang masih ketat dalam masalah jongkok dan
sembah.
Pak Mangunkusumo kemudian memberikan
pandangan kepada Cipto tentang sekolah dokter yang baru dibuka di kota Betawi.
Dengan pasti Cipto mengiayakan untuk melanjutkan sekolah dokter dgn waktu tujuh
tahun lamanya kala itu.
Di STOVIA, Cipto termasuk golongan siswa
terbaik. Bakatnya yang besar itupun diketahui oleh gurunya, “En begaufld leerfing”
(murid yang berbakat besar) kata gurunya. Cipto adalah anak yang selalu
menunjukkan kesungguhan tampak dari raut wajahnya. Sekilas pandang Cipto nampak
sebagai seorang pendiam, namun hal itu tak berarti dia tak pernah tertawa.
Kalau tertawa, terasa sejuklah bagi siapa saja yang mendengarnya. Dia juga
siswa yang paling sering mendebat dan berpidato. Dari pada pergi berpesta lebih
suka dia dikamar membaca buku atau datang ke ceramah-ceramah.
Sebagai anak yang baru belasan tahun
umurnya (dia masuk stovia umur 13 tahun, 1-3-1899, dan keluar umur 19 tahun,
28-10-1905). Harta –benda yang paling berharga yang dia bawa tatkala dia
dibuang di pulau Bangka tak lain ialah buku-bukunya. Tatkala kembali kejawa
dari pembuangannya buku-bukunya tak ketinggalan pula. Cipto adalah anak yang
adaftif dalam menghadapi kesulitan setelah dia terlepas dari lingkungan orang
tuanya.
Namun kita juga tidak mengetahui apakah
Cipto terhitung anak yang sulit selagi masih di rumah. Dapat juga tidak
demikian. Kita bisa melihat bahwa memang lingkungan keluarga Mangunkusumo dan
Istri termasuk keluarga berkecukupan dan tergolong bangsawan Jawa. Yang jelas
setelah hidup dalam lingkungan sekolah nampak jiwanya mendapat jalan untuk
berontak terhadap keadaan sekelilingnya yang menekan jiwanya, sedangkan dirumah
ikatan tradisi sangat kuat.
Dokter
sebagai Profesi
lapangan kedokteran adalah tempat yang
paling sesuai untuk bergerak dalam membela bangsanya. Karena seorang dokter
dapat bebas untuk bergerak tanpa tergantung hidupnya (gaji) dari pemerintah
belanda. Tidak seperti pegawai pemerintah yang hidupnya sangat tergantung
terhadap tuannya.
Akan tetapi terikat dengan syarat-syarat
yang berlaku di STOVIA, Cipto harus menjalankan tugas dinas sebagai dokter
pemerintah selama beberapa tahun, dia ditugaskan di Batavia sejak lulus tahun
1905. Tahun 1906 dia dipindahkan di Demak, Jawa Tengah sampai 1908.
Kesenangannya menulis nampak jelas sejak
tahun 1907 di harian The Locomotief. Isinya terutama berkaitan dengan kondisi
masyarakat yang tidak sehat. Cipto mengkritik bahwa hubungan feudal dan
kolonialisme adalah sumber penderitaan rakyat. Dalam hubungan feudal, rakyat
umum sangat terbatas ruang gerak dan aktivitasnya. Dalam masyarakat feudal
berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib sesorang dan bukan
keahlian ataupun kemampuan. Sehingga bagi anak desa akan tetap tertinggal dan
terbelakang dari anak Bupati atau ningrat lainnya.
Suatu dalil dalam sejarah kolonial yang
telah diketahui umum ialah bahwa pemerintah kolonial bersendikan perbedaan warna
kulit sehingga masyarakat terbagi dalam dua golongan yang dipisahkan oleh
colour line (garis warna). Diskriminasi membawa perbedaan diberbagai hal
misalnya dalam hal hukum, soal pengadilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja
seperti rodi dan kerja desa. Yang menjadi ukuran dari semua itu adalah warna
kulit. Bangsa Indonesia tidak mendapatkan kesempatan untuk berdagang dan
mendapatkan pendidikan secara layak dan adil. Tidak sembarang anak Indonesia
yang boleh masuk ke sekolah eropa. Dan tidak ada pula orang Indonesia yang
berani untuk menembus batas larangan dan diskriminasi. Tetapi tidak untuk
Cipto, sebagai protes Cipto terhadap diskriminasi ras itu seringkali Cipto
bertindak aneh-aneh terhadap pemerintah kolonial salah satunya dengan
mengkritik melalui tulisan
Karena tulisannya yang begitu berani
mengkritik pemerintah kolonial, Cipto sering mendapat teguran dari atasannya.
hingga akhirnya Cipto pun memilih keluar dari ikatan dinas dengan konsekuensi
harus mengembalikan uang ikatan dinas yang tidak sedikit. Walaupun berat jalan
itu ditempuh demi kebebasan gerak cipto untuk membela bangsanya.
Jabatan ikatan dinas ia tinggalkan
lantas ia meninggalkan pula kota Demak dan berpindah ke kota Solo. Di Solo
Cipto membuka praktek kedokterannya sebagai dokter partikelir. Disinilah Cipto
mengenyam kebebasan dalam membela rakyat melalui jarum suntiknya. Tidak sedikit
pasien yang memang tidak mampu dalam berobat hingga akhirnya pun cipto
menggratiskan pengobatan bagi yang tidak mampu, bahkan memberikan bantuan uang
untuk membeli obat perawatan.
Karena itu tidak mengherankan kalau
seringkali keuangan keluarganya mengalami defisit. Keadaan demikian juga
dialami setelah Cipto pulang dari pembuangan di negeri belanda tahun 1914 dan
untuk kedua kalinya dia tinggal di Solo. Namun Cipto dengan istrinya yang kedua
seorang Belanda dari keluarga De Vogel, dapat merasakan kebebasan karena
kebebasannya dalam menolong rakyat. Nyonya de vogel walaupun seorang Belanda
asli, akan tetapi justru pengorbanannya begitu besar dalam berjuang membela
rakyat Indonesia bersama Cipto suaminya. Cipto memang mendapatkan seorang
pendamping yang sangat tepat sekali dalam perjuangan politiknya.
Menulis
Wujud Perlawanan
Melalui De Locomotief, surat harian
kolonial yang sangat berkembang pada waktu itu, di samping Bataviaasch
Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief.
Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang
dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun
kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya
terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup
bagi mereka.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang
oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji
yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama.
Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan,
perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang
pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis
batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian
juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang
secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di
sekolah Eropa.
Sebagai seorang dokter yang menguasai
bidangnya maka ditahun 1914 mengemukakan suatu uraian ilmiah tentang penyakit
pes uraiannya itu dikemukakannya dalam suatu sidang raya di s’Gravenhage,
Nederland. Uraian itu berisi tentang pengendalian wabah pes yang sempat melanda
indonesia. Dengan uraian yang ditulis dan dipidatokan dalam bahasa Belanda,
Cipto telah menunjukan dan membuktikan kepada belanda bahwa pribumi mampu
menyamai bangsa kulit putih di bidang intelektual dan bangsa kulit berwarna
bukan bangsa rendahan.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga
sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan
memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian
khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh
dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu
mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba
mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki
sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa
Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda nya yang fasih membuat
orang-orang Eropa terperangah.
Pada tahun 1912 Cipto juga sempat menjadi
anggota redaksi penerbitan harian De Express dan majalah het Tijdschrijft di
Bandung. Cipto ingin menjadi anggota redaksi tak lain agar dekat dengan Douwes
Dekker. Cipto dan Douwes Dekker merupakan tokoh yang sehaluan. Cipto dan Douwes
Dekker sudah kenal sejak Douwes Dekker masih bekerja pada Bataviaasch
Nieuwsblad. Douwes Dekker sering
berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati
100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai
suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Maka
dilakukanlah Aksi Komite Bumi Putera yang mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913,
ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang
berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada
hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung
Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi
sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi
dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto
bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan
propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Pun ketika masa-masa pembuangan, Selain
menjalankan profesi sebagai dokter partikelir Cipto hidup dengan perjuangannya
melalui tulisan. Seperti halnya ketika dia dibuang di Belanda. Selama masa pembuangan di Belanda, bersama
Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan
melakukan propaganda politik Indische Partij dengan menerbitkan majalah De
Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada
di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel
yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Penghasilan
Sumber penghasilan Cipto Selama masa
perjuangan dapat disimpulkan berasal dari profesinya sebagai dokter, baik
ketika menjadi dokter ikatan dinas pemerintah kolonial belanda maupun ketika
membuka praktek sebagai dokter partikelir. Selain penghasilan dari dokter
kemungkinan Cipto mendapatkan penghasilan melalui tulisan-tulisan yang dia buat
di berbagai Harian maupun majalah kala itu. Walaupun secara tersirat tidak di
jelaskan dalam buku biography Dr Cipto Mangunkusumo bahwa Cipto mendapatkan
imbalan atas tulisan-tulisan yang dia buat tetapi kita bisa melihat dari kisah
Hatta yang juga mendapatkan penghasilan sampingan melalui tulisan.
Rujukan
Utama:
Soegeng reksodihardjo,
2012, Dr Cipto Mangunkusumo, Cetakan ketiga, Penerbit Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
0 comments:
Post a Comment