Banner 468 x 60px

 

Thursday, April 5, 2018

secarik sejarah Buya Hamka

0 comments

Image result for buya hamka

Jalan Hidup Aktivis: HAMKA

Hamka adalah pseudoname dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka lahir dengan nama Abdul Malik. Ayahnya, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang dikenal dengan nama Haji Rasul, adalah pembaharu Islam di Sumatera, salah satu tokoh utama Kaum Muda, pendiri Sumatera Thawalib, dan murid dari Syekh Khatib al Minangkabawi, Imam Masjidil Haram asal Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Seperti yang kita ketahui, Hamka adalah seorang yang ahli di berbagai bidang. Ia adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, negarawan, jurnalis, budayawan, dan ahli tasawwuf.
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ibunya bernama Shafiyah dan ayahnya Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah). Masa kecilnya dimulai dengan belajar Al Qur’an bersama kakaknya, Fatimah, di Padang Panjang. Pada 1915, Hamka masuk Sekolah Desa, setahun kemudian, pada 1916 ia masuk Sekolah Dinijah yang didirikan Zainuddin Labay, salah seorang dari Kaum Muda. Pada 1918, ia masuk Sumatera Thawalib yang baru didirikan. Akhirnya Sekolah Desa ia tinggalkan dan bersekolah di Sekolah Diniyah dan Sumatera Thawalib, dan malamnya belajar mengaji di surau. Hamka memutuskan berhenti sekolah saat kelas II, karena merasa dibebani dan terkekang.
Pada 1920, ia menyaksikan perceraian orangtuanya, menjadi titik awal konflik berkepanjangan antara ia dan ayahnya, Haji Rasul. Kejadian itu mengubah hidupnya selamanya, ia merasakan betapa pahitnya perceraian orangtuanya, apalagi ibunya menikah kembali dengan orang lain, seorang pengusaha dari Deli, dan ayahnya (Haji Rasul) pun menikah dengan seorang perempuan lain. Masa itu Hamka jadi lebih suka bermain di kampung dan nagari lain di Minangkabau seperti Parabek dan lainnya. Ia lebih suka menyendiri.
Pada Juli 1924, ia memutuskan pergi ke Jawa. Yogyakarta adalah kota yang ia kunjungi pertama kali. Di kota itu ia ikut kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam. Di sana ia diajar oleh HOS Cokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Suryopranoto, Fakhruddin hingga Ki Bagus Hadikusumo. Setelah di Yogyakarta, ia berpindah ke Pekalongan. Di sana ia bertemu dengan AR Sutan Mansur, iparnya sekaligus orang yang ia anggap guru. Pada Juni 1925, ia pulang kembali ke Minangkabau, yang ternyata ide-ide Komunisme telah menyebar secara progresif. Pada 1926 terjadi pemberontakan komunis di Jawa, dan 1 Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Kurun waktu yang sama telah didirikan Muhammadiyah di Maninjau oleh Haji Rasul (meski Haji Rasul tidak menjadi pengurusnya) dan juga terbit karangan pertama yang dieditori Hamka: Chatibul Ummah (1926). Pada Februari 1927, usianya masih 19 tahun, Hamka pergi ke Mekkah tanpa minta izin ke ayahnya, ia kembali pada awal tahun 1928. Ia memutuskan menetap di Medan untuk aktif dalam dunia jurnalistik.
Pada 5 April 1929, ia menikah dengan Siti Rahim, atas saran ayahnya (Haji Rasul). Pada tahun yang sama (1929), ia mengarang buku: 1) Sejarah Sayyidina Abubakar Asshiddiq, 2) Ringkasan Tarikh Umat Islam, 3) Agama dan Perempuan, 4) Kepentingan Mubalig, 5) Adat Minangkabau dan Agama Islam. Buku yang terakhir itu dilarang beredar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 1930 (usia 22 tahun), ia berpidato di Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tentang ‘Agama Islam dalam Adat Minangkabau’. Pada 1931, ia berpidato di Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta tentang ‘Perkembangan Muhammdiyah ke Sumatra’. Pada akhir 1931, datang surat dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang menyampaikan maksud dari Muhammadiyah Cabang Makassar agar ia diutus menjadi mubalig di sana. Akhirnya Hamka datang ke Makassar pada akhir 1931 hingga 1934. Di Makassar ia aktif dalam berbagai hal: ekspansi dakwah, sastra, pendidikan, hingga persaingan dan konflik dengan tokoh2 Sarekat Islam Makassar yang disampaikan melalui surat kabar masing-masing. Untuk membahas aktivisme Hamka di Makassar ini butuh buku tersendiri, insya Allah akan kita bahas lebih rinci pada kesempatan lain.
Kembali ke Padang Panjang pada pertengahan 1934, ia mendirikan Kulliyatul Muballighin dibawah organisasi Muhammadiyah. Beberapa muridnya dari Makassar ikut menjadi murid di sekolah tersebut. Pada 1935, lahir anaknya yang ketiga, Rusydi Hamka. Pada Januari 1936, ia pindah ke Medan, memenuhi tawaran untuk menjadi Pemimpin Redaksi majalah Pedoman Masyarakat. Edisi I majalah tersebut terbit pada 22 Januari 1936. Salah satu isi dari majalah tersebut adalah cerita bersambung karangan Hamka dan penulis lainnya. Kumpulan cerita bersambung itu diterbitkan sebagai buku, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939). Novel pertama terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada 1927, sedangkan novel kedua terinspirasi dari pengalamannya di Makassar pada 1931-1934. Keduanya diterbitkan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 1943, majalah Pedoman Masyarakat dibredel oleh Jepang.  Namun Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai (semacam DPD) dan sekaligus propagandis Asia Timur Raya. Pada 23 Oktober 1943 didirikan Masyumi sebagai pengganti MIAI, juga diatur oleh Jepang. Dengan demikian Hamka otomatis masuk ke dalam dunia politik yang lebih dinamis.
Pada masa ini Hamka memutuskan pindah dari Medan dan kembali ke Sumatera Barat, dan menjadi Ketua Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Ia tentu saja aktif dalam politik menentang keinginan Belanda dan sekutu untuk menjajah Indonesia kembali. Ia berkeliling Sumatera Barat hingga Riau dan membangkitkan semangat rakyat melawan agresi militer Belanda. Pada Juli 1947, Hatta datang ke Sumatera Barat. Namun karena Pematang Siantar jatuh pada agresi militer Belanda yang pertama (21 Juli 1947),  maka ia mengumpulkan tokoh2 penting Sumbar ke Bukittinggi untuk menyatukan laskar2 yang terlalu banyak dan menegaskan bahwa mereka harus bersatu melawan usaha Belanda untuk kembali menjajah. Dibentuk pula Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) dimana Hamka diangkat menjadi pimpinannya bersama Rasuna Said dan lainnya.
BPNK adalah organisasi fisik yang terdiri dari pemuda2 usia 17-35 tahun yang akan berhadapan langsung dengan tentara Belanda. Pada September 1947, Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, AS) mengutus konsul mereka ke Bukittinggi. Hamka dan para pimpinan BPNK dan MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah) mengumpulkan 10.000 orang untuk berdemonstrasi di depan Rumah Tamu Agung (tempat kediaman Wakil Presiden Hatta selama di Bukittinggi), sebagai isyarat bahwa rakyat betul ingin merdeka. Hamka menyelesaikan tugas sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional hingga penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda di Den Haag pada akhir Desember 1949. Pada 1955 diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) demokratis pertama di Indonesia, tujuannya adalah memilih anggota Konstituante. Hamka terpilih sebagai seorang anggota dari total 550 anggota Konstituante. Tugas utama Konstituante adalah merumuskan dasar negara, atau Undang-Undang Dasar, untuk menggantikan UUDS 1950. Sidang pertama tercatat pada tanggal 10 November 1956. Namun sampai 1959, Konstituante tidak berhasil sepakat melahirkan UUD baru. Di tahun itulah Sukarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Singkat cerita, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dengan demikian negara kembali ke UUD 1945. Keputusan lain dari dekrit tersebut adalah Konstituante dibubarkan serta MPRS didirikan.
Dampak dari konflik ideologi antara (secara umum) Masyumi dan Sukarno ini melahirkan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Meskipun Hamka tidak masuk PRRI, ia tentu masuk dalam konflik berkepanjangan antara Masyumi dan Sukarno. Pada 1960, majalah terkemuka Panji Masyarakat dimana Hamka menjadi Pemimpin Redaksinya, menerbitkan salah satu tulisan Hatta yang paling terkenal: Demokrasi Kita. Isinya adalah kritikan mantan Wapres Hatta  pada Sukarno atas gagasan Demokrasi Terpimpin yang dianggap dekat dengan totaliterianisme. (Hatta telah mundur sebagai Wapres pada 1956, juga karena konflik dengan Sukarno). Empat tahun kemudian (27 Januari 1964), setelah memberikan pengajian di Masjid Al Azhar, Hamka ditangkap dengan tuduhan subversif ingin menumbangkan Sukarno –tuduhan yang akhirnya tidak pernah terbukti. Hamka dibebaskan pada 26 Januari 1966. Meski dipenjara dua tahun di bawah pemerintahan Sukarno, di sanalah lahir satu karya monumentalnya: Tafsir Al Azhar, komentar dan tafsirnya atas Alquran 30 juz. Setelah keluar dari penjara, ia aktif mengisi ceramah di RRI dan TVRI, dan menjadi Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada Mei 1981, ia mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI karena tidak mau menarik fatwa penghukuman ‘haram’ bagi umat Islam merayakan Natal bersama.
Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir di Jakarta.  Tentunya tidak gampang mengulas sejarah satu orang dalam waktu dua jam saja. Apalagi orang yang dibahas adalah orang seperti Hamka yang seorang intelektual Islam, ahli tasawwuf, sejarawan, jurnalis handal: seorang yang mengumpulkan banyak keunggulan dalam satu diri.

Dikutip : Diskusi Online Indonesia

0 comments:

Post a Comment