Jalan Hidup Aktivis: HAMKA
Hamka adalah
pseudoname dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka lahir dengan nama Abdul
Malik. Ayahnya, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang dikenal dengan nama Haji
Rasul, adalah pembaharu Islam di Sumatera, salah satu tokoh utama Kaum Muda,
pendiri Sumatera Thawalib, dan murid dari Syekh Khatib al Minangkabawi, Imam
Masjidil Haram asal Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Seperti yang kita ketahui, Hamka adalah seorang yang
ahli di berbagai bidang. Ia adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan,
negarawan, jurnalis, budayawan, dan ahli tasawwuf.
Hamka lahir pada
17 Februari 1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Agam, Sumatera
Barat. Ibunya bernama Shafiyah dan ayahnya Haji Rasul (Haji Abdul Karim
Amrullah). Masa kecilnya dimulai dengan belajar Al Qur’an bersama kakaknya,
Fatimah, di Padang Panjang. Pada 1915, Hamka masuk Sekolah Desa, setahun
kemudian, pada 1916 ia masuk Sekolah Dinijah yang didirikan Zainuddin Labay,
salah seorang dari Kaum Muda. Pada 1918, ia masuk Sumatera Thawalib yang baru
didirikan. Akhirnya Sekolah Desa ia tinggalkan dan bersekolah di Sekolah
Diniyah dan Sumatera Thawalib, dan malamnya belajar mengaji di surau. Hamka
memutuskan berhenti sekolah saat kelas II, karena merasa dibebani dan
terkekang.
Pada 1920, ia
menyaksikan perceraian orangtuanya, menjadi titik awal konflik berkepanjangan
antara ia dan ayahnya, Haji Rasul. Kejadian itu mengubah hidupnya selamanya, ia
merasakan betapa pahitnya perceraian orangtuanya, apalagi ibunya menikah
kembali dengan orang lain, seorang pengusaha dari Deli, dan ayahnya (Haji
Rasul) pun menikah dengan seorang perempuan lain. Masa itu Hamka jadi lebih
suka bermain di kampung dan nagari lain di Minangkabau seperti Parabek dan
lainnya. Ia lebih suka menyendiri.
Pada Juli 1924,
ia memutuskan pergi ke Jawa. Yogyakarta adalah kota yang ia kunjungi pertama
kali. Di kota itu ia ikut kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam. Di sana ia
diajar oleh HOS Cokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Suryopranoto, Fakhruddin
hingga Ki Bagus Hadikusumo. Setelah di Yogyakarta, ia berpindah ke Pekalongan.
Di sana ia bertemu dengan AR Sutan Mansur, iparnya sekaligus orang yang ia
anggap guru. Pada Juni 1925, ia pulang kembali ke Minangkabau, yang ternyata
ide-ide Komunisme telah menyebar secara progresif. Pada 1926 terjadi
pemberontakan komunis di Jawa, dan 1 Januari 1927 di Silungkang, Sumatera
Barat. Kurun waktu yang sama telah didirikan Muhammadiyah di Maninjau oleh Haji
Rasul (meski Haji Rasul tidak menjadi pengurusnya) dan juga terbit karangan pertama
yang dieditori Hamka: Chatibul Ummah (1926). Pada Februari 1927, usianya masih
19 tahun, Hamka pergi ke Mekkah tanpa minta izin ke ayahnya, ia kembali pada
awal tahun 1928. Ia memutuskan menetap di Medan untuk aktif dalam dunia
jurnalistik.
Pada 5 April
1929, ia menikah dengan Siti Rahim, atas saran ayahnya (Haji Rasul). Pada tahun
yang sama (1929), ia mengarang buku: 1) Sejarah Sayyidina Abubakar Asshiddiq,
2) Ringkasan Tarikh Umat Islam, 3) Agama dan Perempuan, 4) Kepentingan Mubalig,
5) Adat Minangkabau dan Agama Islam. Buku yang terakhir itu dilarang beredar
oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 1930 (usia 22 tahun), ia berpidato di
Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tentang ‘Agama Islam dalam
Adat Minangkabau’. Pada 1931, ia berpidato di Kongres Muhammadiyah ke-20 di
Yogyakarta tentang ‘Perkembangan Muhammdiyah ke Sumatra’. Pada akhir 1931,
datang surat dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang menyampaikan maksud dari
Muhammadiyah Cabang Makassar agar ia diutus menjadi mubalig di sana. Akhirnya
Hamka datang ke Makassar pada akhir 1931 hingga 1934. Di Makassar ia aktif
dalam berbagai hal: ekspansi dakwah, sastra, pendidikan, hingga persaingan dan
konflik dengan tokoh2 Sarekat Islam Makassar yang disampaikan melalui surat
kabar masing-masing. Untuk membahas aktivisme Hamka di Makassar ini butuh buku
tersendiri, insya Allah akan kita bahas lebih rinci pada kesempatan lain.
Kembali ke
Padang Panjang pada pertengahan 1934, ia mendirikan Kulliyatul Muballighin
dibawah organisasi Muhammadiyah. Beberapa muridnya dari Makassar ikut menjadi
murid di sekolah tersebut. Pada 1935, lahir anaknya yang ketiga, Rusydi Hamka.
Pada Januari 1936, ia pindah ke Medan, memenuhi tawaran untuk menjadi Pemimpin
Redaksi majalah Pedoman Masyarakat. Edisi I majalah tersebut terbit pada 22
Januari 1936. Salah satu isi dari majalah tersebut adalah cerita bersambung
karangan Hamka dan penulis lainnya. Kumpulan cerita bersambung itu diterbitkan
sebagai buku, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck (1939). Novel pertama terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada
1927, sedangkan novel kedua terinspirasi dari pengalamannya di Makassar pada
1931-1934. Keduanya diterbitkan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Pada 1943, majalah Pedoman Masyarakat dibredel oleh
Jepang. Namun Hamka diangkat sebagai
anggota Syu Sangi Kai (semacam DPD) dan sekaligus propagandis Asia Timur Raya.
Pada 23 Oktober 1943 didirikan Masyumi sebagai pengganti MIAI, juga diatur oleh
Jepang. Dengan demikian Hamka otomatis masuk ke dalam dunia politik yang lebih
dinamis.
Pada masa ini
Hamka memutuskan pindah dari Medan dan kembali ke Sumatera Barat, dan menjadi
Ketua Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Ia tentu saja aktif dalam politik
menentang keinginan Belanda dan sekutu untuk menjajah Indonesia kembali. Ia
berkeliling Sumatera Barat hingga Riau dan membangkitkan semangat rakyat
melawan agresi militer Belanda. Pada Juli 1947, Hatta datang ke Sumatera Barat.
Namun karena Pematang Siantar jatuh pada agresi militer Belanda yang pertama
(21 Juli 1947), maka ia mengumpulkan
tokoh2 penting Sumbar ke Bukittinggi untuk menyatukan laskar2 yang terlalu
banyak dan menegaskan bahwa mereka harus bersatu melawan usaha Belanda untuk
kembali menjajah. Dibentuk pula Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) dimana
Hamka diangkat menjadi pimpinannya bersama Rasuna Said dan lainnya.
BPNK adalah
organisasi fisik yang terdiri dari pemuda2 usia 17-35 tahun yang akan
berhadapan langsung dengan tentara Belanda. Pada September 1947, Komisi Tiga
Negara (Australia, Belgia, AS) mengutus konsul mereka ke Bukittinggi. Hamka dan
para pimpinan BPNK dan MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah) mengumpulkan
10.000 orang untuk berdemonstrasi di depan Rumah Tamu Agung (tempat kediaman Wakil
Presiden Hatta selama di Bukittinggi), sebagai isyarat bahwa rakyat betul ingin
merdeka. Hamka menyelesaikan tugas sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional
hingga penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda di Den Haag pada akhir
Desember 1949. Pada 1955 diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) demokratis pertama di
Indonesia, tujuannya adalah memilih anggota Konstituante. Hamka terpilih
sebagai seorang anggota dari total 550 anggota Konstituante. Tugas utama
Konstituante adalah merumuskan dasar negara, atau Undang-Undang Dasar, untuk
menggantikan UUDS 1950. Sidang pertama tercatat pada tanggal 10 November 1956.
Namun sampai 1959, Konstituante tidak berhasil sepakat melahirkan UUD baru. Di
tahun itulah Sukarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Singkat cerita,
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dengan demikian negara
kembali ke UUD 1945. Keputusan lain dari dekrit tersebut adalah Konstituante
dibubarkan serta MPRS didirikan.
Dampak dari
konflik ideologi antara (secara umum) Masyumi dan Sukarno ini melahirkan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Meskipun
Hamka tidak masuk PRRI, ia tentu masuk dalam konflik berkepanjangan antara
Masyumi dan Sukarno. Pada 1960, majalah terkemuka Panji Masyarakat dimana Hamka
menjadi Pemimpin Redaksinya, menerbitkan salah satu tulisan Hatta yang paling
terkenal: Demokrasi Kita. Isinya adalah kritikan mantan Wapres Hatta pada Sukarno atas gagasan Demokrasi Terpimpin
yang dianggap dekat dengan totaliterianisme. (Hatta telah mundur sebagai Wapres
pada 1956, juga karena konflik dengan Sukarno). Empat tahun kemudian (27
Januari 1964), setelah memberikan pengajian di Masjid Al Azhar, Hamka ditangkap
dengan tuduhan subversif ingin menumbangkan Sukarno –tuduhan yang akhirnya
tidak pernah terbukti. Hamka dibebaskan pada 26 Januari 1966. Meski dipenjara
dua tahun di bawah pemerintahan Sukarno, di sanalah lahir satu karya
monumentalnya: Tafsir Al Azhar, komentar dan tafsirnya atas Alquran 30 juz.
Setelah keluar dari penjara, ia aktif mengisi ceramah di RRI dan TVRI, dan
menjadi Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada Mei
1981, ia mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI karena tidak mau menarik
fatwa penghukuman ‘haram’ bagi umat Islam merayakan Natal bersama.
Hamka meninggal
pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir di
Jakarta. Tentunya tidak gampang mengulas
sejarah satu orang dalam waktu dua jam saja. Apalagi orang yang dibahas adalah
orang seperti Hamka yang seorang intelektual Islam, ahli tasawwuf, sejarawan,
jurnalis handal: seorang yang mengumpulkan banyak keunggulan dalam satu diri.
Dikutip : Diskusi Online
Indonesia
0 comments:
Post a Comment