Banner 468 x 60px

 

Thursday, April 5, 2018

secarik sejarah Ki Hajar Dewantara

0 comments

Image result for Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara

Tidak banyak yang mengenal nama Soewardi Soerjaningrat. Namun, apabila kita menyebut nama Ki Hajar Dewantara, maka akan langsung muncul dalam kepala kita seorang Bapak Pendidikan.
Sebagian masyarakat kita memang tidak mengenal dengan baik Soewardi yang merupakan sosok Ki Hajar Dewantara muda. Oleh karena itu, dalam materi kali ini, saya akan menyampaika sekilas tentan sosok dan kiprah Soewardi. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Soewardi merupakan seseorang yang masih memiliki darah ningrat. Tepatnya, berasal dari keluarga keraton Pakualaman.
Darah ningrat itu diperoleh oleh Soewardi dari sang ayah yang bernama KPH Soerjaningrat. Sehingga, berdasarkan silsilah keluarganya, Soewardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Sedangkan, sang ibu bernama Raden Ayu Sandiyah.
Meskipun Soerjaningrat merupakan seorang pangeran, namun sejatinya dia tidak pernah menjadi kepala rumah pangeran. Sebab, saat ayah dari Soerjaningrat yaitu Paku Alam III meninggal pada usia 40 tahun, kesultanan itu tidak jatuh ke tangannya. Melainkan, oleh pemerintah kolonial diserahkan kepada saudara sepupu Paku Alam III, yang belakangan diangkat menjadi Paku Alam IV.
Saat Paku Alam IV turun dari jabatannya, Belanda juga kembali tidak menyerahkan kekuasaan itu kepada Soerjaningrat. Pemerintah kolonial saat itu justru menyerahkannya kepada adik laki-laki Paku Alam III untuk menjadi Paku Alam V. Dalam Raja Mogok R.M. Soerjopranoto: Sebuah Kenangan Oleh Bambang Sukawati, yang ditulis oleh Bambang Sukawati menyebutkan, jika alasan fisiklah yang membuat pemerintah kolonial tidak memilih Soerjaningrat sebagai pewaris tahta tersebut. Alasannya, saat itu Soerjoningrat mengalami tuna netra menjelang dewasa.
Padahal, Soerjaningrat merupakan seorang anggota kerajaan yang memiliki cara pandang, dan cita-cita hidup yang sarat dengan nilai-nilai humanism-religius. Soerjoningrat adalah seorang penganut agama Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hakekat, dan makrifat. Walaupun, dia juga tidak pernah mengesampingkan unsur syari’at.
Nuansa diskriminasi itu juga dirasakan betul oleh Soewardi saat dia sekolah di STOVIA. Sekolah itu melarang para pelajar dari Jawa dan Sumatera untuk memakai pakaian Eropa, kecuali bagi mereka yang beragama Kristen.
Tentu saja aturan itu membuat Soewardi merasa diperlakukan berbeda. Namun, hal itu pula yang belakangan membuat Soewardi menjadi gemar mengenakan pakaian tradisional. Pakaian tradisional berupa sarung itu kemudian dikombinasikan oleh Soewardi dengan jas dan pici.
Uniknya, meskipun kerap memakai pakaian tradisional, namun Soewardi sama sekali tidak pernah mengenakan blangkon gaya Yogya, maupun destar gaya Solo sebagai penutup kepalanya. Soewardi justru sering menggunakan ikat kepala berupa udeng. Tujuannya, Soewardi ingin menghindari ejekan yang biasa dilontarkan para priyayi dari kedua daerah tersebut.

Meskipun memiliki darah ningrat, bukan berarti hal itu menjauhkan Soewardi berinteraksi dengan masyarakat umum.Bahkan, Soewardi muda banyak berkecimpung dalam aktivitas politik dan jurnalisme. Di antaranya, dia pernah bergabung dalam surat kabar De Express, Oetoesan Hindia, Midden Java, Kaoem Moeda, Sediotomo, Tjahaja Timoer, serta Poesara. Saat bekerja di berbagai surat kabar tersebut, Suwardi dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif.
Soewardi memilih dunia jurnalistik, karena dia menganggap pers merupakan sebuah alat perjuangan yang cukup efektif saat itu. Tidak hanya itu, dengan menggeluti dunia jurnalistik, maka dia bisa mencurahkan seluruh keresahan hatinya dalam berbagai karangan.
Hal itu memang terbukti dalam berbagai tulisan-tulisannya. Sebagian besar tulisan Soewardi memang menggambarkan keresahan hatinya akan sebuah bangsa yang merdeka, dan bebas. Tulisan pertamanya dalam De Express pun tidak jauh-jauh dari wacana kebebasan. Tepatnya, saat itu Soewardi menulis sebuah tulisan dengan judul “Kemerdekaan Indonesia”.
Dalam tulisan itu Soewardi menyatakan, jika setiap pergerakan politik bebas, harus dimulai dengan memutuskan perhubungan-perhubungan kolonial dan harus menuju ke penghidupan rakyat yang bebas. Menurutnya, selama hubungan tersebut masih berlangsung, berarti selama itu pula aka nada ikatan yang memungkinkan terasanya tekanan penghidupan rakyat. 
Sejumlah tulisannya saat itu dikenal pedas melakukan kritikan terhadap berbagai kalangan. Bahkan, pada tanggal 16 Agustus 1917 Soewardi menulis sebuah artikel berjudul “Pernyataan Prinsip Seorang Nasionalis Hindia”.1
Artikel itu berisi kritikan tajam terhadap kaum sosialis yang ada di Hindia Belanda. Saat itu, Soewardi merasa para kaum sosialis di bawah pimpinan Sneevliet menghalangi perjuangan kaum nasionalis, dimana salah satunya termasuk Soewardi. “Tapi kami orang Hindia merasakan benar, bahwa nasionalisme dalam perjuangan kami ini hanya merupakan senjata, dan bukan tujuan. Pada tahap pertama senjata itu masih kami perlukan, sebab perjuangan yang kami hadapi sekarang ini adalah melawan imperialisme Negeri Belanda. Namun, demokrasi pun terdapat dalam gudang senjata kami; dan senjata ini akan mencegah kami mengambil langkah-langkah keliru dalam kami menempuh jalan yang sulit menuju kemerdekaan itu,”tulis Soewardi dalam artikel tersebut.
Meskipun tampak jelas jika apa yang dilakukan oleh Soewardi kurang disukai oleh kelompok Sneevliet, namun hal itu tidak membuat Soewardi untuk membentuk front melawan kaum sosialis. Soewardi justru beberapa kali menyatakan rasa simpatinya kepada kaum sosialis. Salah satunya seperti ucapan selamatnya kepada Social Democratiche Arbeiders Partij (SDAP), atau Partai Buruh Sosial Demokrat yang ada di Belanda.

Ucapan selamat itu dimuat dalam harian Het Volk yang terbit pada tanggal 12 Juli 1918. Ketika itu SDAP baru saja memenangkan pemilihan umum di Belanda. Bahkan, secara terang-terangan Soewardi juga menyatakan, jika hanya kaum sosialis yang mampu membela kepentingan Hindia.
Sikap keras dalam melakukan perlawanan yang ditunjukkan oleh Soewardi terhadap Pemeritah Hindia Belanda, salah satunya memang disebabkan oleh perlakuan yang diterima olehnya dan keluarganya. Sebab, meskipun masih merupakan keluarga Kesultanan Paku Alam, namun Soewardi tampaknya merasa apa yang diterima keluarganya dan keluarga pangeran lainnya sangat berbeda.
Hal itu terbukti dengan pendidikan yang diterimanya. Soewardi, dan saudaranya Soerjopranoto tidak mendapatkan pendidikan dari HBS. Saat itu, HBS merupakan simbol pendidikan bagi keluarga ningrat yang memiliki posisi istimewa. Salah satu sikap keras Soewardi juga terlihat saat dia menyikapi kebijakan pemerintah kolonial yang akan merayakan kemerdekaan Belanda ke-100.
Soewardi pun menuangkannya dalam sebuah tulisannya yang berjudul Als Ik een Nederlander Was, atau Kalau Saya Seorang Belanda. Berikut adalah isi lengkap dari tulisan yang dimuat di surat kabar De Express 13 Juni 1913 tersebut.
“Dalam berbagai karangan di surat-surat kabar banyak sekali dipropagandakan untuk mengadakan suatu pesta besar disini, di Hindia: pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk negeri ini tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang genaplah seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah Nederland menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut sudah sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya, tanda setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga mereka , bahw seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan jubileum semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan orang Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta pada tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya, dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu., hari perayaan kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan parau ikut serta menyanyikan lagu “wilhelmus” dan “wien Neerlands Bloed”, apabila nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala pernyataan itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala kebaikan-Nya, saya akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland kekal kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut saya, suatu hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh, apabila kita—saya masih seorang Belanda umpamanya–orang-orang bumiputra disuruh ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita, pertama, akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas tanah air mereka yang kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita sekarang beriang-riang gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari kekuasaan asing; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang masih berdiri di bawah kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan, bahwa budak-budak yang sial itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka seperti kita sekarang dapat mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas semangat yang hidup sudah membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa bumputera? Kalau begitu kita akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan pesta perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan disini, di negeri yang terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa sekarang ini, masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada pada permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “ Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini telah lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu, sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya sorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda, bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.

Apabila nanti diadakan pemungutan biaya, saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi belanja rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra jajahan Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan Nederland, negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada oorang-orang sebangsa saya, orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam pesta itu, sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita akan mendapat di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan kita dan kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan “demonstrasi kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang, lepas dari segala ironi.

Seperti telah saya katakan pada permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang menjadi keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya ialah terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal yang bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi kami dengan kemerdekaan”– pendek kata tidak selama Tuan Idenburg menjadi walinegara, dan lagi–ganjil benar–ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan pendapat yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar bumiputra “Kaoem Moeda” dan dalam “ De Express” untuk membentuk di Bandung, tempat datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat komite, suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar; pada hari perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Ratu, yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera mengadakan suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu–apalagi bagian yang kemudian–saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah merupakan suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di situ tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak ikut serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata sejelas-jelasnya dari cara bangunanya bangsa Hindia, bahwa emansipasi–proses kemerdekaan– itu cepat sekali jalannya, disitu dapat dipikirkan kemungkinan bahwa bangsa ini, yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari tuannya. Bagaimana nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De tweede kamer yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah, kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa komite tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya perlahan-lahan bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana paling bagus beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang dikatakan wakil kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu–lihat misalnya gemeenteraden–disana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul yang hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya memajukan protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat diperkenankan, dan tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa tepat pada hari orang Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada Ratu dengan permohonan untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu bangsa yang 40 juta orang jumlahnya.

Lihatlah, sekarang sudah, betapa pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.”
Artikel itu sebenarnya merupakan sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk melakukan peringatan tersebut.
Artikel itu sebenarnya merupakan sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk melakukan peringatan tersebut.
Tentu saja, hal itu ditentang oleh Suwardi. Suwardi menganggap, apa yang dilakukan oleh Belanda jelas bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang sedang diperingatinya itu.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda saat itu sesuatu yang ironis, dan sama sekali tidak etis. Satu sisi, Pemerintah Belanda ingin merayakan kemerdekaannya, namun di sisi lain pemungutan biaya peringatan kemerdekaan dari koloninya adalah sesuatu yang bertentangan dengan semangat kemerdekaan.
Sebagai bangsa yang pernah terjajah, dan saat itu telah merdeka, seharusnya Belanda juga memahami perasaan bangsa-bangsa yang menjadi koloninya seperti Hindia. Bahkan, dalam bentuk sindiran Soewardi menyatakan dia ingin mengetahui bagaimana perasaan orang-orang Belanda.
 “Saya ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari cacat-cacat asing.”
Sangat jelas jika kata-kata itu merupakan sindiran tajam Soewardi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sindiran itu tidak hanya ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda saja. Melainkan kepada seluruh setiap orang Belanda.
Soewardi seolah ingin mempertanyakan, bagaimana mungkin bangsa yang sedang merayakan kemerdekaannya, dan memuja-muja perasaan merdeka, bisa melakukan penindasan terhadap koloni-koloninya? Menurutnya, Pemerintah Belanda justru ingin melanggengkan apa yang selama ini telah dilawan, dan berusaha dihilangkannya dari Perancis, yaitu penjajahan. Lebih tegas lagi Soewardi menyatakan, Pemerintah Belanda dan seluruh orang Belanda yang memiliki jiwa merdeka, tidak seharusnya bisa melalui perayaan kemerdekaan itu dengan memungut biaya dari kaum pribumi di Hindia.

Tidak hanya itu, menunjukkan kegembiraan dalam merayakan kemerdekaan di hadapan kaum pribumi, juga dinilai Soewardi akan melukai perasaan kaum pribumi di Hindia. Oleh karena itu, Soewardi mendesak sebaiknya hal itu tidak dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. “Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.”Petikan tulisan itu jelas Soewardi menganggap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah sebuah kekeliruan besar.
Lebih lanjut, Soewardi menyebut apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda saat itu merupakan sebuah kebijakan yang memalukan. Sebab, mereka merayakan peringatan kemerdekaan negaranya di tempat yang bukan merupakan tanah airnya. Justru, dengan melibatkan rakyat Hindia untuk ikut merayakan kemerdekaan Belanda akan menjadi bumerang.
Rakyat yang sedang menyaksikan kemerdekaan Belanda, akan tertanam juga dalam benak mereka, jika suatu saat mereka juga bisa mencapai kemerdekaan semacam itu. Mereka akan berpikir, menjadi merdeka bukanlah sesuatu yang mustahil, karena bangsa Belanda yang pernah dijajah Perancis pun bisa merdeka, bahkan bisa melakukan penjajahan terhadap bangsa lainnya.
Sehingga, hal itu akan memicu munculnya pergerakan maupun perlawanan rakyat Hindia. Rakyat Hindia yang awalnya kehilangan tenaga setelah beberapa tahun silam sumber dayanya terkuras akibat tanam paksa, akan kembali menemukan semangatnya.
Padahal, Soewardi berpendapat, jika tidak ada perayaan kemderdekaan itu di Hindia, maka rakyat Hindia saat itu sebenarnya “sedang tertidur”. Namun, dengan adanya perayaan itu, bahkan dengan meminta rakyat Hindia ikut membiayai perayaan itu, maka Pemerintah Hindia Belanda akan membangunkan rakyat Hindia dari tidurnya.
Lebih dari itu, Soewardi juga mempertanyakan esensi dari perayaan kemerdekaan itu di tanah Hindia. Menurutnya, pelaksanaan perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia tak lebih hanya sekedar pamer kekuatan. Terlebih, bagi rakyat Hindia hal itu sama sekali tak berarti.
Alasannya, saat itu masyarakat pribumi di Hindia bisa dianggap sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan Belanda. “Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan,” begitu tulis Soewardi dalam artikel tersebut.
Akibat tulisannya itu, pemerintah pun menjatuhinya sanksi untuk diasingkan ke Belanda pada tanggal 18 Agustus 1913. Namun, saat di Belanda, Soewardi justru masih bisa melakukan aktivitas perjuangannya. Di sana dia justru malah banyak melakukan interaksi dengan sejumlah aktivis, dan mahasiswa, serta mendirikan media. Hal itu terus dilakukannya hingga dia pulang kembali ke tanah air.


dikutip : diskusi Online Indonesia 

0 comments:

Post a Comment