Banner 468 x 60px

 

Sunday, March 25, 2018

sejarah dewi sartika

0 comments

*--Dewi Sartika (Masa kecil dan Remaja) --*

Dewi Sartika yang dilahirkan pada tanggal 4 Desember tahun 1884 adalah putri pertama dan anak kedua dari R. Rangga Somanagara, Patih Bandung. Ibunya R.A Rajapermas, putri bupati Bandung R.A.A Wiranatakusumah IV, yang terkenal dengan sebutan dalem bintang.

Dewi sartika, sebagai anak perempuan keturunan priyayi dan memiliki Ayah yang merupakan Patih Bandung, diberikan pendidikan dasar. Meskipun bukan kebijaksanaan umum pada saat itu karena pendidikan lembaga - lembaga (sekolah) masih baru sekalipun untuk golongan priyayi. Tapi pikiran yang baru dari ayahanda menjadikan bekal yang sangat berharga untuk dewi sartika. Sebagai anak dari golongan priyayi, ia termasuk sejumlah kecil yang beruntung diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah kelas satu (eerste klassr school). Sampai suatu kejadian penting dalam keluarga mengakhiri masa sekolah yang pendek itu. Saat dewi sartika duduk di kelas 2B.

Di sekolah kelas satu dewi sartika mendapat pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Bahasa belanda dan pengetahuan lainnya. Dewi sartika pun hidup dalam keluarga yang damai dan indah. Sehingga mampu membentuk kedewasaan dewi sartika. Namun kedamaian terenggut ketika ayahanda dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit pada pertengahan bulam Juli tahun 1893. Hukuman buangan ke ternata membuat pecah keutuhan keluarga, sang Ibu ikut menyertai ayahanda ke tempat buangan. Sumber penghidupan hilang, sehingga anak - anak dititipkan  pada sanak keluarga. Dewi sartika berlainan dengan saudara yang dititipkan diantara leluarga di bandung, bapak tuanya berkenan untuk membawa sartika hidup di tengah keluarga di Cicalengka.

Karena datang dari keluarga yang baru saja dijatuhi hukuman buang, dewi sartika diperlakukan dengan dingin. Dewi sartika tidak dianggap, ditempatkan dibelakang, jauh dari tempat lazim yang dihuni keluarganya atau putri putri anak didiknya. Hal tsb membuat dewi sartika sedih. Namun tidak banyak waktu untuk merasa sedih atau sepi, karena setiap hari ia punya tugas tertentu yang harus diselesaikan. Diantaranya ialah mengantarkan saudara  saudara sepupu pergi ke rumah seorang nyonya belanda untuk belajar bahasa belanda dan menulis membaca. Ia tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pembelajaran. dewi sartika hanya dibolehkan mendengarkan dari luar pintu saja. Tapi karena rasa ingin tahu yang besar dan fikiran yang cerdas, apapun yang ditangkap dari balik pintu telah menambah pengetahuannya.
Pada waktu itu hal yang biasa bahwa pemuda - pemuda yang dididik di sekolah - sekolah  Belanda, berpakaian necis nan rapih mempunyai istri yang sama dari kalangan priyayi sedang dididik dalam kecakapan kewanitaan, tapi tidak bisa membaca dan menulis. Ada kalanya mereka bisa, tapi jauh hari setelah menikah dan diajarkan oleh suaminya. Disamping anggapan orang tua yang masih memiliki pandangan tradisional bahwa wanita ialah kaum yang lemah dan tergantung pada nasib ayah atau suami. Pandangan yang sangat terbatas inilah yang menggugah hati Dewi Sartika muda. Ia melihat satu kekurangan saja, yakni buta huruf dialami rekan wanita seumurannya membuat mereka dibodohi dan diperlakukan semena.

Di lain pihak, buta aksara di kawan-kawannya Cicalengka itu sering terjadi hal yang lucu. Dewi sartika yang penuh humor sering menggoda mereka dengan mengubah isi surat dari para jejaka kepada gadis gadis tsb. Kadang menjadi ratap tangis, kadang menjadi gelak tawa. Kesedihan kemarahan dan kejengkelan tersebut yang menimbulkan hasrat untuk belajar baca tulis. Tidak hanya rangsangan tersebut yang dilakukan dewi sartika untuk mengubah keaadaan buta huruf di lingkungan kediaman Patih Aria, tapi juga dengan perbuatan nyata.

Diantara waktu senggangnya, sambil bermain dengan anak pelayan, di halaman belakang, ataupun di sudut tempat lain, dengan papan atau genting sebagai tempat menulis dan arang sebagai kapur, Uwi mulai mengajarkan aksara. Tekanan - tekanan yang dialaminya sebagai anak buang tidak menyurutkan semangatnya, justru menjadi pemantik untuk bangkit dan tumbuh. Niat untuk mengembalikan nama baik keluarga.

Dari kehidupan yang dialami di Cicalengka, Uwi mengamati bahwa ada sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi pendidikan teman sebayanya. Yaitu kecakapan membaca dan menulis disamping pengetahuan kewaniataan dll. Dari sinilah Uwi terpanggil. Ia ingin berbuat sesuatu untuk kemajuan kaumnya. Mengajarkan membaca menulis dan keterampilan lain pada wanita dirasakannya mampu. Untuk melaksanakan cita-citanya ini, Uwi menyadari bahwa selama masih berdiam bersama Pak Tuanya tidaklah mungkin. Maka ia memutuskan pergi dan kembali ke Bandung. Karena menurutnya Bandung memberi kemungkinan yang lebih baik.
*-- Kembali Ke Bandung --*
kondisi pendidikan jaman itu jauh dibilang dari menguntungkan pihak perempuan. Selain karena adat dan budaya yang menganggap tabu pendidikan untuk perempuan, pemerintah dan orang kebanyakan pun beranggapan bahwa perempuan tak perlu lah mengenyam pendidikan. Cukup laki - laki saja. Tak heran jika angka perempuan yang masuk sekolah pada tahun 1878  hanya 25 orang diantara 12.448 anak laki-laki, sedangkan tahun 1879 jumlahnya meningkat menjadi 301 orang diantara murid laki laki yang berjumlah 24.732 orang.

Para orang tua jaman itu beranggapan bahwa, pendidikan sekolah utama untuk anak perempuan tidak perlu, tidak ada gunanya. Anak perempuan pun dianggap lebih pantas di rumah dan melanjutkan keturunan, pelajaran yang diberikan tidak banyak berguna bagi wanita pribumi. Bahkan ada anggapan bahwa orang takut wibawa orang tua akan berkurang terutama dalam menentukan perkawinan.

Pemerintah juga berpendapat pendidikan untuk kaum pria harus didahulukan dan yang sudah berjalan harus diperbaiki sedang untuk wanita dirasa belum perlu.  Melihat situasi yang seperti inilah, Dewi Sartika terketuk hatinya untuk memulai perjuangan pendidikan bagi kaum Wanita. Ditambah berkaca pada sang Ibunda dimana kecakapannya hanya untuk menyemarakkan kehidupan aristokrat di lingkungan terbatas, dan hiasan kabupaten belala. Untuk mewujudkan keinginan itu, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung kala itu, RAA Martanegara (1893-1918). Pada mulanya Bupati tidak menyetuji niat dewi sartika untuk membuka sekolah untuk anak perempuan. Karena menurutnya mendapat tentangan yang keras dari masyarakat setempat.

_"jangan, perempuan tidak usah sekolah, asal bisa menanak nasi bisa menjahit mengabdi pada suami, sudah lebih dari cukup. Pahalanya surga. Apalagi mau belajar bahasa belanda segala"_

Akan tetapi penolakan ini tidak mengecilkan hati dewi sartika. Berulang kali permohonan diajukan. Pada akhirnya bupati yang tidak menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum wanita ini  dalam hati sebenarnya meluluskan permintaan sartika. _"apabila uwi sudah bulat keinginan, mudahan dimakbul oleh Allah yang menguasai seluruh alam. Kita coba dirikan sekolah. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, sekolah diselenggarakan di pendopo dahulu. Apabila tidak ada apa apa, bisa pindah ke tempat lain"_

Maka pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah *"Sekolah Istri"* (Sekolah Istri: Sekolah Gadis) untukjenisnya yang pertama kali di Indonesia. Murid murid pertama justru berasal dari kalangan biasa, bukan priyayi. Sesuai dengan prinsip yang dipegang Dewi Sartika bahwa Sekolahnya terbuka untuk siapa saja. Sambutan atas prakarsa dewi sartika mendapat kecaman dan cemoohan dari kalangan wanita priyayi. Dewi sartika telah menentang adat kebiasaan bangsawan, bekerja keras dengan tenaga dan budi akal demi kelangsungan sekolahnya, kata para wanita priyayi.
*-- Perjalanan --*

Animo untuk menjadi murid Sekolah Istri cukup besar  tempat tersedia yang terletak di halaman kabupaten sebelah barat tidak cukup menampung murid baru dan akhirnya pada tahun 1905 dipindah ke Jalan Ciguriang, tempat yang sekarang masih digunakan  sbg tempat belajar sekolah sekolah Yayasan Dewi Sartika. Banyak kelas sudah bertambah, pun halnya dengan pengajar yang terdiri dari para wanita priyayi yang dididik secara tradisional sukarela membantu Uwi.

Penyempurnaan rencana pelajaran dilakukan. Pedoman Pola pendidikan yang dilaksanakan seperti sekolah - sekolah pemerintah pada waktu itu, dengan menekankan pada pelajaran - pelajaran ketrampilan wanita seperti menjahit, menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, PPPK, memelihara bayi dan pelajaran agama. Disini yang menarik adalah, bahwa pelajaran agama baru diberikan di Lembaga Pendidikan untuk pertama kalinya. Karena sekolah pemerintah maupun sekolah swasta (kecuali sekolah swasta berasaskan agama) tidak memberikan pelajaran semacam ini.

Pada tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Suriawinata, seorang guru kemudian menjadi Kepala Sekolah Sekolah kelas Satu, Karang Pamulang. Perkawinan ini tidaklah menjadi penghalang bagi cita - cita dan karier Dewi sartika, bahkan sebaliknya suaminya memberikan pengertian dan bantuan sepenuhnya kepada istrinya. Pekerjaan suami sebagai guru banyak membantu dibarengi disiplin diri dan pembagian waktu yang tepat sehingga tercipta keserasian dalam menghadapi tugas rumah tangga dan pekerjaan.


Karena pertambahan murid setiap tahun cukup besar, pada tahun 1909 diadakan perbaikan, bantuan pun banyak diterima. Perhatian masyarakat dan pemerintah sudah mulai tampak, Sekolah Istri berubah namanya pada tahun 1910 menjadi "Sekolag Kautamaan Istri". Pada tahun 1913, dari laporan yang diajukan kepada Inspektur Pendidikan Bumiputera terdapat 358 orang siswi.

Pada tahun 1913 dibuka Sekolah Kautamaan Istri II di kota - kota di Pasundan dan Minangkabau. Hingga tahun 1926 total ada 8 sekolah yang terbentuk secara bertahap. Tugas seorang Dewi Sartika sebagai Kepala Sekolah dan ibu rumahtangga tidak membuat ia kehilangan kedisiplinan. Setiap pagi Uwi sudah tiba di sekolah, sebelum pukul 7. Siap bekerja sebelum lonceng berbunyi. Ditengah kesibukannya Uwi masih mempunyai cukup perhatian terhadap masalah - masalah yang sedang terjadi di Masyarakat. Terutama masalah yang menyangkut kemajuan dan peningkatan derajat wanita. Salah satunya adalah permasalahan pelacuran. Menurut Uwi, memberantas pelacuran sangat sukar selama gadis - gadis tidak mampu hidup berdiri sendiri di atas kaki sendiri karena mereka tidak dididik untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
*-- Memetik Hasilnya --*

Menurut Dewi Sartika, wanita yang telah melewatkan sebagian dari tahun - tahun remajanya dalam asuhan pendidikan Kautamaan Istri hendaknya menjadi wanita "Nu bisa hirup!" Yakni, yang bisa hidup. Dimana wanita dapat dan mampu menghadapi tantangan zamannya.

Dari tahun ke tahun pendidikan wanita pun menunjukkan perkembangan pesatnya. Pada tahun 1924 ada 92.621 perempuan diantara 685.222 keseluruhan yang menuntut ilmu di sekolah desa - desa. Pemerintah pun memberi subsidi dan tenaga guru. Bahkan Sekolah Kautamaan Istri dijadikan semacam show piece atau model dari jenisnya. Para pejabat pendidikan meluangkan waktu untuk meninjau kemajuan Sekolah tersebut. Bahkan pada waktu tertentu, permintaan pendaftar sekolah tidak dapat terpenuhi karena membeludaknya.

Pada tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa perak kepada Raden Dewi Sartika. Pada tahun 1929 bersamaan dg genapnya 25 tahun Sekolah kautamaan istrix berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Pada upacara peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi, Dewi sartika mendapat bintang jasa emas dari Pemerintah.


Read more...
0 comments
Bung Tomo : Dari Kuli Tinta Menuju Palagan Surabaya

Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 merupakan salah satu pahlawan nasional yang lebih dikenal sebagai orator ulung dalam revolusi fisik 1945-1949. Baru saja ulang tahun ternyata . Akan tetapi, ternyata sosok ini juga banyak bergelut dalam dunia literasi. Bahkan, namanya yg masuk dalam jajaran militer dan pernah dilantik oleh Soekarno sebagai Mayor Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat, sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan militer
Bung Tomo lebih akrab pada dunia literasi
Mengenyam pendidikan HIS di Surabaya pada usia 7 tahun dan berlanjut pada jenjang MULO ( setara SMP) pada usia 12 tahun. Pada usia inilah, Bung Tomo yang besar di kampung Blauran mulai mengasah pemikiran kritis yang ia miliki. Melihat langsung dengan mata dan kepala, bagaimana imbas Pendudukan kolonial bagi rakyat kecil di Kota Surabaya, Bung Tomo mulai menuangkannya dalam tulisan-tulisan sederhana. Ingat, pada usia 12 tahun, sungguh usia yang masih belia. Pengalaman rupanya juga menjadi faktor penting yang membentuk pribadi Bung Tomo. Pengalaman hidup yg begitu erat dan dekat dengan rakyat kecil, kerap mewarnai karya yg dihasilkannya. Pada 1937, Soetomo muda mulai menjejaki karir sebagai wartawan professional. Dan Soeara Oemoem, sebuah koran lokal di Surabaya menjadi ajang baginya mengasah bakat sebagai kuli tinta. Tulisan Bung Tomo dikenal tajam dalam mengkritisi kebijakan pemimpin, bahkan hal ini ia bawa hingga masa kemerdekaan. Tulisan-tulisannya dengan cepat melambungkan nama Soetomo, arek Blauran, di kancah lokal
Namanya mulai diperhitungkan
Dan pada 1938, menjadi redaktur dalam mingguan Pembela Rakjat. Jejak ini semakin melambungkan namanya, hingga beberapa redaktur di Yogyakarta memilihnya sebagai koresponden berita untuk wilayah Jawa bagian Timur. Bung Tomo juga pernah berkiprah di koran Ekspres dengan tulisan-tulisan berbahasa Jawa dengan menyerukan perjuangan bagi rakyat Indonesia. Hal ini dilakukan demi menghindari sensor ketat yang dilakukan oleh pihak Belanda
Setelah Belanda jatuh, dan Jepang berkuasa, Bung Tomo melanjutkan kiprah sbagai wartawan pada kantor berita Domei. Bersama beberapa pemuda lain, Bung Tomo turut berperan dalam menyebar luaskan berita kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, berdasar catatan Sulistina Soetomo, istrinya, Bung Tomo masih terus melanjutkan kiprah pada dunia literasi. Dengan menjadi pemimpin kantor berita Antara hingga mendirikan kursus jurnalistik dan sebuah penerbitan bernama Balapan di Kota Malang
Dari penerbitan inilah, lahir buku karyanya yg pasti menjadi rujukan dalam mengkaji peristiwa Pertempuran 10 Nopember di Surabaya. Dan membahas nama ini tentu tidak lengkap tanpa memperbincangkan pertempuran Surabaya

Hal penting yang saya dapati dari petualangan pustaka saya soal Bung Tomo ialah, ia tidak hanya bergerak atau berjuang melalui ide, namun juga aksi sebagai perwujudan dari gagasan-gagasannya..namun , kita ternyata lebih banyak mengenalnya sebagai seorang pejuang dalam revolusi fisik..baik perannya sebagai orator pada perang 10 Nov, maupun komandan dalam gerilya di gunung Wilis pada masa agresi militer Belanda. Padahal karyanya dalam dunia literasi sungguh menarik, kaya, tegas, dan romantis..
Dari seorang Bung Tomo kita bisa belajar bahwa , siapapun diri kita, apapun bakat yg kita punya, cara terbaik untuk mensyukurinya ialah mengembangkan bakat tersebut ke arah yang bermanfaat bagi banyak orang..ide dan gagasan hanya akan menguap tanpa tindakan, dan bakat selamanya hanya akan terpendam bila tidak kita gali dan maksimalkan..

Dikutip dari : diskusi online Indonesia.






















Read more...

Tuesday, March 6, 2018

0 comments

*Sudirman: Guru Ngaji yang Menjadi Panglima Besar*

Sudirman, rasanya tak memerlukkan surat keputusan presiden untuk diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan sulit sekali membayangkan jendral yang diangkat menjadi jendral bintang 5 tersebut, sempat bercita-cita melekatkan asmanya pada nama jalan, monumen, plaza, apalagi mengangkat dirinyanya menjadi generalissimo-alias jendral paling jendral. Menarik menyeksamai kisah Sudirman, kisah unik dari guru ngaji menjadi jendral TNI yang nantinya akan memberikan nilai2 fundamental dalam tubuh TNI

*Asal-usul si Bintang Lapangan*

Senin, 24 Januari 1916. Seorang bayi lahir di dukuh Rembang, kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Lahir dipurbalingga lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap. Sudirman memasuki masa sekolah pada 1923 di Hollandsch-Indlandche School (HIS, Setingkat sekolah dasar). Setelah lulus HIS pada 1930, ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama). Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi sudirman. Di sekolah ini ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi oetomo.

Di kelas Sudirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apapun termasuk pelajaran dan dikenal luwes dalam pergaulannya. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa inggris, ilmu tata negara sejarah dunia, sejarah kebangsaan dan agama Islam. Sangking tekunnya pada pelajaran agama sudirman diberi julukan Kaji atau Haji. Dalam hal keluwesan dalam bergaulnya membawa Sudirman giat dalam organisasi kepanduan di bawah bendera Muhammadiyah, Hizbul Wathan (HW). Di organisasi ini ia menjelma menjadi seroang pandu  yang berdisiplin dan penuh tanggung jawab yang dipupuk nantinya menjadi modal dalam amanahnya sebagai panglima kelak.

*Darah Muda Buangan Jepang*
_Nama Sudirman menggema di organisasi kepanduan, kepemudaan dan keguruan seantero banyumas. Menikahi sesama aktivis_

Lulus dari MULO, Sudirman lantas bertemu dengan R. Muhammad Kholil, tokoh Muhammdiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu, dia diangkat menjadi guru Sekolah Dasar di Hollandsch Indlandsche School (HIS), Muhammadiyah Cilacap. 

Karir mengajar beliau tergolong moncer. Baru beberapa tahun menjadi guru, para pengajar di HIS Muhammadiyah sepakat menunjuk dia sebagai kepala sekolah. Jabatan tersebut diembannya hingga sekolah tersebut ditutup oleh belanda. 

Setalahnya beliau kemudian mendirikan badan pengurus makanan rakyat di daerah cilacap untuk mendistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sejak saat itu namanya menjadi melejit di Cilacap dan jepang kepincut dengannya. Jepang kemudian mengangkatnya sebagai anggota _Syu Sangikai_ alias dewan pertimbangan keresidenan Cilacap. Beberapa kali Sudirman sendiri yang ditugasi menagih hasil panen rakyat. Tapi beliau selalu kembali menghadap tanpa hasil ke tentara jepang. Rupanya beliau diam-diam membangkang. Sudirman menghasut warga agar tak menyerahkan bahan pangannya jika keluarga sendiri lebih membutuhkan.

Jepang marah besar setalah mengetahui hal tersebut. Agar tidak mengganggu, Jepang mengirimnya ke Bogor pada tahun 1943 untuk memgikuti pendidikan calon _daidancho_ atau komandan batalion peta. Dan ini lah awal dari kiprah gemilang beliau dalam sejarah perjuanagn republik indonesia.

*Panglima Besar dari Suara Terbanyak dan memenangkan perang Ambarawa: Panglima yang piawai dalam strategi dan kenal medan*

_pemilihan berlangsung ala koboi hampir semua peserta membawa senjata. Langsung merancang perang Ambarawa_

Rapat di markas tinggi tentara keamanan rakyat di Yogyakarta, 12 November 1945, itu tiba-tiba memanas. Kolonel holland iskandar mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta), mengintrupsi pimpinan Sidang, meminta peserta memilih pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang baru dibentuk sebelumnya. Oerip yang kala itu kepala staff umum berpangkat letnan jendral, kehilangan kendali atas pertemuan. Hari itu juga Sudirman yang berpangkat lebih rendah kolonel terpilih. Menjadi panglima besar TKR. 

Soepardjo Roestam yang menjadi pengawal Sudirman mencatat, Seusai pemilihan yang berakhir malam hari Sudirman langsung mengajak para panglima divisi membahas siasat perang. Langkah yang cepat dan tidak ada acara2 ceremonial  ditunjukan oleh Sudirman mengingat masig dalam situasi pasca pemilihan. Dia langsung memerintahkan perang Amabarawa. 

Di perang Ambarawa ini Sudirman kehilangan letkol Isdiman saat dalam perjalanan menuju ambarawa. Sudirman terpukul dengan kehilangannya ini. Semanjak saat itu sudirman memimpin sendiri markas pimpinan tempur di magelang dan dia sering terjun ke _front_ untuk memeriksa situasi. 

Dalam rapat pada 11 Desember, sudirman memutuskan menjalankan siasat _supit udang_ ini merupkan strategi sergapan mendadak untuk menguasai jalan Raya Semarang Yogyakarta. TKR berhasil membentuk gerakkan menjepit seperti _Supit Udang_  yang ujung ujungnya bertemu di luar kota sebelah utara ambarawa. Pasukkan inggris keluar menuju Semarang. Inilah kemenangan besar Sudirman

*Garis Politik Sang Jendral: konsistensi pada prinsip*

Dia sudah terikat sumpah: *Haram menyerah bagi Tentara*. Karena ikrar inilah sudirman menolak bujukan sukarno untuk berdiam diri di yogyakarta. Ia memilih jalan grilya, perang rakyat yang dikumandangkan untuk menghadapi agresi militer kedua kalinya. Sikap politik yang kerap kali bersebrangan dengan Sjahrir, Amir Sjarifoedin bahkan Sukarno-Hatta. Walaupun sebenarnya ini merupakkan hasil keputusan sidang kabinet.

Seelama bergrilya sudirman konsisten menentang perundingan dengan Belanda. Sikap ini ditunjukkan dalam radiogram yang ditujukan Sukarno-Hatta. "Apakah pantas orang-orang yang ada dalam tahanan atau berada di dalam pengawasan tentara belanda berhak melakukan perundingan dan pengambilan keputusan politik buat menentukan nasib Republik?"

*Rujukan:*
Seri Buku Tempo: Tokoh Militer 2012,Sudirman: Seorang Panglima, Seorang Martir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia


  • Kupilih Jalan gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jendral Sudirman, 2015, Liman

Read more...