Ki Hajar Dewantara
Tidak banyak yang mengenal nama Soewardi
Soerjaningrat. Namun, apabila kita menyebut nama Ki Hajar Dewantara, maka akan
langsung muncul dalam kepala kita seorang Bapak Pendidikan.
Sebagian masyarakat kita memang tidak
mengenal dengan baik Soewardi yang merupakan sosok Ki Hajar Dewantara muda.
Oleh karena itu, dalam materi kali ini, saya akan menyampaika sekilas tentan
sosok dan kiprah Soewardi. Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Soewardi
merupakan seseorang yang masih memiliki darah ningrat. Tepatnya, berasal dari
keluarga keraton Pakualaman.
Darah ningrat itu diperoleh oleh
Soewardi dari sang ayah yang bernama KPH Soerjaningrat. Sehingga, berdasarkan
silsilah keluarganya, Soewardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III.
Sedangkan, sang ibu bernama Raden Ayu Sandiyah.
Meskipun Soerjaningrat merupakan seorang
pangeran, namun sejatinya dia tidak pernah menjadi kepala rumah pangeran.
Sebab, saat ayah dari Soerjaningrat yaitu Paku Alam III meninggal pada usia 40
tahun, kesultanan itu tidak jatuh ke tangannya. Melainkan, oleh pemerintah
kolonial diserahkan kepada saudara sepupu Paku Alam III, yang belakangan
diangkat menjadi Paku Alam IV.
Saat Paku Alam IV turun dari jabatannya,
Belanda juga kembali tidak menyerahkan kekuasaan itu kepada Soerjaningrat.
Pemerintah kolonial saat itu justru menyerahkannya kepada adik laki-laki Paku
Alam III untuk menjadi Paku Alam V. Dalam Raja Mogok R.M.
Soerjopranoto: Sebuah Kenangan Oleh Bambang Sukawati, yang ditulis oleh
Bambang Sukawati menyebutkan, jika alasan fisiklah yang membuat pemerintah
kolonial tidak memilih Soerjaningrat sebagai pewaris tahta tersebut. Alasannya,
saat itu Soerjoningrat mengalami tuna netra menjelang dewasa.
Padahal, Soerjaningrat merupakan seorang
anggota kerajaan yang memiliki cara pandang, dan cita-cita hidup yang sarat
dengan nilai-nilai humanism-religius. Soerjoningrat adalah seorang penganut
agama Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hakekat, dan makrifat.
Walaupun, dia juga tidak pernah mengesampingkan unsur syari’at.
Nuansa diskriminasi itu juga dirasakan
betul oleh Soewardi saat dia sekolah di STOVIA. Sekolah itu melarang para
pelajar dari Jawa dan Sumatera untuk memakai pakaian Eropa, kecuali bagi mereka
yang beragama Kristen.
Tentu saja aturan itu membuat Soewardi
merasa diperlakukan berbeda. Namun, hal itu pula yang belakangan membuat
Soewardi menjadi gemar mengenakan pakaian tradisional. Pakaian tradisional
berupa sarung itu kemudian dikombinasikan oleh Soewardi dengan jas dan pici.
Uniknya, meskipun kerap memakai pakaian
tradisional, namun Soewardi sama sekali tidak pernah mengenakan blangkon gaya
Yogya, maupun destar gaya Solo sebagai penutup kepalanya. Soewardi justru
sering menggunakan ikat kepala berupa udeng. Tujuannya, Soewardi ingin
menghindari ejekan yang biasa dilontarkan para priyayi dari kedua daerah
tersebut.
Meskipun memiliki darah ningrat, bukan
berarti hal itu menjauhkan Soewardi berinteraksi dengan masyarakat umum.Bahkan,
Soewardi muda banyak berkecimpung dalam aktivitas politik dan jurnalisme. Di
antaranya, dia pernah bergabung dalam surat kabar De Express, Oetoesan Hindia,
Midden Java, Kaoem Moeda, Sediotomo, Tjahaja Timoer, serta Poesara. Saat
bekerja di berbagai surat kabar tersebut, Suwardi dikenal sebagai seorang
penulis yang cukup produktif.
Soewardi memilih dunia jurnalistik,
karena dia menganggap pers merupakan sebuah alat perjuangan yang cukup efektif
saat itu. Tidak hanya itu, dengan menggeluti dunia jurnalistik, maka dia bisa
mencurahkan seluruh keresahan hatinya dalam berbagai karangan.
Hal itu memang terbukti dalam berbagai
tulisan-tulisannya. Sebagian besar tulisan Soewardi memang menggambarkan
keresahan hatinya akan sebuah bangsa yang merdeka, dan bebas. Tulisan pertamanya
dalam De Express pun tidak jauh-jauh dari wacana kebebasan. Tepatnya, saat itu
Soewardi menulis sebuah tulisan dengan judul “Kemerdekaan Indonesia”.
Dalam tulisan itu Soewardi menyatakan,
jika setiap pergerakan politik bebas, harus dimulai dengan memutuskan
perhubungan-perhubungan kolonial dan harus menuju ke penghidupan rakyat yang
bebas. Menurutnya, selama hubungan tersebut masih berlangsung, berarti selama
itu pula aka nada ikatan yang memungkinkan terasanya tekanan penghidupan
rakyat.
Sejumlah tulisannya saat itu dikenal
pedas melakukan kritikan terhadap berbagai kalangan. Bahkan, pada tanggal 16
Agustus 1917 Soewardi menulis sebuah artikel berjudul “Pernyataan Prinsip
Seorang Nasionalis Hindia”.1
Artikel itu berisi kritikan tajam
terhadap kaum sosialis yang ada di Hindia Belanda. Saat itu, Soewardi merasa
para kaum sosialis di bawah pimpinan Sneevliet menghalangi perjuangan kaum
nasionalis, dimana salah satunya termasuk Soewardi. “Tapi kami orang Hindia
merasakan benar, bahwa nasionalisme dalam perjuangan kami ini hanya merupakan
senjata, dan bukan tujuan. Pada tahap pertama senjata itu masih kami perlukan,
sebab perjuangan yang kami hadapi sekarang ini adalah melawan imperialisme
Negeri Belanda. Namun, demokrasi pun terdapat dalam gudang senjata kami; dan
senjata ini akan mencegah kami mengambil langkah-langkah keliru dalam kami
menempuh jalan yang sulit menuju kemerdekaan itu,”tulis Soewardi dalam artikel
tersebut.
Meskipun tampak jelas jika apa yang
dilakukan oleh Soewardi kurang disukai oleh kelompok Sneevliet, namun hal itu
tidak membuat Soewardi untuk membentuk front melawan kaum sosialis. Soewardi
justru beberapa kali menyatakan rasa simpatinya kepada kaum sosialis. Salah
satunya seperti ucapan selamatnya kepada Social Democratiche Arbeiders
Partij (SDAP), atau Partai Buruh Sosial Demokrat yang ada di Belanda.
Ucapan selamat itu dimuat dalam
harian Het Volk yang terbit pada tanggal 12 Juli 1918. Ketika itu
SDAP baru saja memenangkan pemilihan umum di Belanda. Bahkan, secara
terang-terangan Soewardi juga menyatakan, jika hanya kaum sosialis yang mampu
membela kepentingan Hindia.
Sikap keras dalam melakukan perlawanan
yang ditunjukkan oleh Soewardi terhadap Pemeritah Hindia Belanda, salah satunya
memang disebabkan oleh perlakuan yang diterima olehnya dan keluarganya. Sebab,
meskipun masih merupakan keluarga Kesultanan Paku Alam, namun Soewardi
tampaknya merasa apa yang diterima keluarganya dan keluarga pangeran lainnya
sangat berbeda.
Hal itu terbukti dengan pendidikan yang
diterimanya. Soewardi, dan saudaranya Soerjopranoto tidak mendapatkan
pendidikan dari HBS. Saat itu, HBS merupakan simbol pendidikan bagi keluarga
ningrat yang memiliki posisi istimewa. Salah satu sikap keras Soewardi juga
terlihat saat dia menyikapi kebijakan pemerintah kolonial yang akan merayakan
kemerdekaan Belanda ke-100.
Soewardi pun menuangkannya dalam
sebuah tulisannya yang berjudul Als Ik een Nederlander Was, atau
Kalau Saya Seorang Belanda. Berikut adalah isi lengkap dari tulisan yang dimuat
di surat kabar De Express 13 Juni 1913 tersebut.
“Dalam berbagai karangan di surat-surat
kabar banyak sekali dipropagandakan untuk mengadakan suatu pesta besar disini,
di Hindia: pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk negeri
ini tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang genaplah
seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah Nederland
menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang
sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut sudah
sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah
pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya,
tanda setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan
perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga
mereka , bahw seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan
penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang
keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan jubileum
semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan orang
Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta pada
tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya,
dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin,
dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang
“Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama
sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di
bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu., hari perayaan
kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda
berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan
parau ikut serta menyanyikan lagu “wilhelmus” dan “wien Neerlands Bloed”,
apabila nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala
pernyataan itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala kebaikan-Nya,
saya akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland kekal
kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan
kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan
meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja
untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang
berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya
akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya
seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila
saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang
saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi
seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta
merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu,
malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada
seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada
peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut saya, suatu
hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh,
apabila kita—saya masih seorang Belanda umpamanya–orang-orang bumiputra disuruh
ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita, pertama, akan melukai
perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas tanah air mereka yang
kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita sekarang beriang-riang
gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari kekuasaan asing; dan
semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang masih berdiri di bawah
kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan, bahwa budak-budak yang sial
itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka seperti kita sekarang dapat
mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah kita menyangka, bahwa kita
dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas semangat yang hidup sudah
membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa bumputera? Kalau begitu kita
akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa yang sebiadab-biadabnya pun
menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila saya seorang belanda, saya
tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita
menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan saja
tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan
uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud
mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka
dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan pesta
perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan
nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan disini, di negeri yang
terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan itu maksudnya
mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa sekarang ini,
masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada pada
permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada
bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk
dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan
kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak
sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “ Kau manusia lihatlah betapa kami
merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali
perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini telah
lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang
berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu,
sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya sorang Belanda, sekarang pada
saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis
dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum
penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya
akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa
Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai
naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada
saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda,
saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra
jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan
marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang
memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu
saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda,
bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga
orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang
dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus
setia kepada beliau.
Dan
karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya,
saya akan ikut merayakan.
Apabila nanti diadakan pemungutan biaya,
saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi belanja
rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra jajahan
Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan Nederland,
negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada oorang-orang sebangsa saya,
orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam pesta itu,
sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita akan mendapat
di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan kita dan
kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan
“demonstrasi kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang,
lepas dari segala ironi.
Seperti telah saya katakan pada
permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut
menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang
Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang menjadi
keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya ialah
terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal yang
bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti
menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami
bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi
kami dengan kemerdekaan”– pendek kata tidak selama Tuan Idenburg menjadi
walinegara, dan lagi–ganjil benar–ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta
itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya
sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan pendapat
yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar bumiputra
“Kaoem Moeda” dan dalam “ De Express” untuk membentuk di Bandung, tempat
datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat komite,
suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar; pada hari
perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Ratu,
yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera mengadakan
suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu–apalagi bagian
yang kemudian–saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah merupakan
suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah
mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak
diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain
kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang
cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan
kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di situ
tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak ikut
serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata sejelas-jelasnya
dari cara bangunanya bangsa Hindia, bahwa emansipasi–proses kemerdekaan– itu
cepat sekali jalannya, disitu dapat dipikirkan kemungkinan bahwa bangsa ini,
yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari tuannya. Bagaimana
nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut
pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De tweede kamer yang
disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah,
kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa komite
tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya perlahan-lahan
bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana paling bagus
beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang dikatakan wakil
kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu–lihat misalnya
gemeenteraden–disana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul yang
hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya memajukan
protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat diperkenankan, dan
tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa tepat pada hari orang
Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada Ratu dengan permohonan
untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu bangsa yang 40 juta
orang jumlahnya.
Lihatlah,
sekarang sudah, betapa pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya
seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini dalam
suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu
kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.”
Artikel itu sebenarnya merupakan
sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang
ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk
melakukan peringatan tersebut.
Artikel itu sebenarnya merupakan
sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang
ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk
melakukan peringatan tersebut.
Tentu saja, hal itu ditentang oleh
Suwardi. Suwardi menganggap, apa yang dilakukan oleh Belanda jelas bertentangan
dengan semangat kemerdekaan yang sedang diperingatinya itu.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh
Pemerintah Belanda saat itu sesuatu yang ironis, dan sama sekali tidak etis.
Satu sisi, Pemerintah Belanda ingin merayakan kemerdekaannya, namun di sisi
lain pemungutan biaya peringatan kemerdekaan dari koloninya adalah sesuatu yang
bertentangan dengan semangat kemerdekaan.
Sebagai bangsa yang pernah terjajah, dan
saat itu telah merdeka, seharusnya Belanda juga memahami perasaan bangsa-bangsa
yang menjadi koloninya seperti Hindia. Bahkan, dalam bentuk sindiran Soewardi
menyatakan dia ingin mengetahui bagaimana perasaan orang-orang Belanda.
“Saya ingin, dapat kiranya
sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”,
tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari
cacat-cacat asing.”
Sangat jelas jika kata-kata itu
merupakan sindiran tajam Soewardi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan,
sindiran itu tidak hanya ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda saja.
Melainkan kepada seluruh setiap orang Belanda.
Soewardi seolah ingin mempertanyakan,
bagaimana mungkin bangsa yang sedang merayakan kemerdekaannya, dan memuja-muja
perasaan merdeka, bisa melakukan penindasan terhadap koloni-koloninya?
Menurutnya, Pemerintah Belanda justru ingin melanggengkan apa yang selama ini
telah dilawan, dan berusaha dihilangkannya dari Perancis, yaitu penjajahan.
Lebih tegas lagi Soewardi menyatakan, Pemerintah Belanda dan seluruh orang
Belanda yang memiliki jiwa merdeka, tidak seharusnya bisa melalui perayaan
kemerdekaan itu dengan memungut biaya dari kaum pribumi di Hindia.
Tidak
hanya itu, menunjukkan kegembiraan dalam merayakan kemerdekaan di hadapan kaum
pribumi, juga dinilai Soewardi akan melukai perasaan kaum pribumi di Hindia.
Oleh karena itu, Soewardi mendesak sebaiknya hal itu tidak dilakukan oleh
Pemerintah Hindia Belanda. “Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang
Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya
berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi
seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta
merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu,
malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada
seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada
peringatan hari kemerdekaan itu.”Petikan tulisan itu jelas Soewardi menganggap
apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah sebuah kekeliruan besar.
Lebih lanjut, Soewardi menyebut apa yang
dilakukan oleh Pemerintah Belanda saat itu merupakan sebuah kebijakan yang
memalukan. Sebab, mereka merayakan peringatan kemerdekaan negaranya di tempat
yang bukan merupakan tanah airnya. Justru, dengan melibatkan rakyat Hindia
untuk ikut merayakan kemerdekaan Belanda akan menjadi bumerang.
Rakyat yang sedang menyaksikan
kemerdekaan Belanda, akan tertanam juga dalam benak mereka, jika suatu saat
mereka juga bisa mencapai kemerdekaan semacam itu. Mereka akan berpikir,
menjadi merdeka bukanlah sesuatu yang mustahil, karena bangsa Belanda yang
pernah dijajah Perancis pun bisa merdeka, bahkan bisa melakukan penjajahan
terhadap bangsa lainnya.
Sehingga, hal itu akan memicu munculnya
pergerakan maupun perlawanan rakyat Hindia. Rakyat Hindia yang awalnya
kehilangan tenaga setelah beberapa tahun silam sumber dayanya terkuras akibat
tanam paksa, akan kembali menemukan semangatnya.
Padahal, Soewardi berpendapat, jika
tidak ada perayaan kemderdekaan itu di Hindia, maka rakyat Hindia saat itu
sebenarnya “sedang tertidur”. Namun, dengan adanya perayaan itu, bahkan dengan
meminta rakyat Hindia ikut membiayai perayaan itu, maka Pemerintah Hindia
Belanda akan membangunkan rakyat Hindia dari tidurnya.
Lebih dari itu, Soewardi juga
mempertanyakan esensi dari perayaan kemerdekaan itu di tanah Hindia.
Menurutnya, pelaksanaan perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia tak lebih hanya
sekedar pamer kekuatan. Terlebih, bagi rakyat Hindia hal itu sama sekali tak
berarti.
Alasannya, saat itu masyarakat pribumi
di Hindia bisa dianggap sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan
Belanda. “Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami;
cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang
merdeka, bebas dari segala penjajahan,” begitu tulis Soewardi dalam artikel
tersebut.
Akibat tulisannya itu, pemerintah pun
menjatuhinya sanksi untuk diasingkan ke Belanda pada tanggal 18 Agustus
1913. Namun, saat di Belanda, Soewardi justru masih bisa melakukan aktivitas
perjuangannya. Di sana dia justru malah banyak melakukan interaksi dengan
sejumlah aktivis, dan mahasiswa, serta mendirikan media. Hal itu terus
dilakukannya hingga dia pulang kembali ke tanah air.
dikutip : diskusi Online Indonesia