Banner 468 x 60px

 

Thursday, April 5, 2018

secarik sejarah Ki Hajar Dewantara

0 comments

Image result for Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara

Tidak banyak yang mengenal nama Soewardi Soerjaningrat. Namun, apabila kita menyebut nama Ki Hajar Dewantara, maka akan langsung muncul dalam kepala kita seorang Bapak Pendidikan.
Sebagian masyarakat kita memang tidak mengenal dengan baik Soewardi yang merupakan sosok Ki Hajar Dewantara muda. Oleh karena itu, dalam materi kali ini, saya akan menyampaika sekilas tentan sosok dan kiprah Soewardi. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Soewardi merupakan seseorang yang masih memiliki darah ningrat. Tepatnya, berasal dari keluarga keraton Pakualaman.
Darah ningrat itu diperoleh oleh Soewardi dari sang ayah yang bernama KPH Soerjaningrat. Sehingga, berdasarkan silsilah keluarganya, Soewardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III. Sedangkan, sang ibu bernama Raden Ayu Sandiyah.
Meskipun Soerjaningrat merupakan seorang pangeran, namun sejatinya dia tidak pernah menjadi kepala rumah pangeran. Sebab, saat ayah dari Soerjaningrat yaitu Paku Alam III meninggal pada usia 40 tahun, kesultanan itu tidak jatuh ke tangannya. Melainkan, oleh pemerintah kolonial diserahkan kepada saudara sepupu Paku Alam III, yang belakangan diangkat menjadi Paku Alam IV.
Saat Paku Alam IV turun dari jabatannya, Belanda juga kembali tidak menyerahkan kekuasaan itu kepada Soerjaningrat. Pemerintah kolonial saat itu justru menyerahkannya kepada adik laki-laki Paku Alam III untuk menjadi Paku Alam V. Dalam Raja Mogok R.M. Soerjopranoto: Sebuah Kenangan Oleh Bambang Sukawati, yang ditulis oleh Bambang Sukawati menyebutkan, jika alasan fisiklah yang membuat pemerintah kolonial tidak memilih Soerjaningrat sebagai pewaris tahta tersebut. Alasannya, saat itu Soerjoningrat mengalami tuna netra menjelang dewasa.
Padahal, Soerjaningrat merupakan seorang anggota kerajaan yang memiliki cara pandang, dan cita-cita hidup yang sarat dengan nilai-nilai humanism-religius. Soerjoningrat adalah seorang penganut agama Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hakekat, dan makrifat. Walaupun, dia juga tidak pernah mengesampingkan unsur syari’at.
Nuansa diskriminasi itu juga dirasakan betul oleh Soewardi saat dia sekolah di STOVIA. Sekolah itu melarang para pelajar dari Jawa dan Sumatera untuk memakai pakaian Eropa, kecuali bagi mereka yang beragama Kristen.
Tentu saja aturan itu membuat Soewardi merasa diperlakukan berbeda. Namun, hal itu pula yang belakangan membuat Soewardi menjadi gemar mengenakan pakaian tradisional. Pakaian tradisional berupa sarung itu kemudian dikombinasikan oleh Soewardi dengan jas dan pici.
Uniknya, meskipun kerap memakai pakaian tradisional, namun Soewardi sama sekali tidak pernah mengenakan blangkon gaya Yogya, maupun destar gaya Solo sebagai penutup kepalanya. Soewardi justru sering menggunakan ikat kepala berupa udeng. Tujuannya, Soewardi ingin menghindari ejekan yang biasa dilontarkan para priyayi dari kedua daerah tersebut.

Meskipun memiliki darah ningrat, bukan berarti hal itu menjauhkan Soewardi berinteraksi dengan masyarakat umum.Bahkan, Soewardi muda banyak berkecimpung dalam aktivitas politik dan jurnalisme. Di antaranya, dia pernah bergabung dalam surat kabar De Express, Oetoesan Hindia, Midden Java, Kaoem Moeda, Sediotomo, Tjahaja Timoer, serta Poesara. Saat bekerja di berbagai surat kabar tersebut, Suwardi dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif.
Soewardi memilih dunia jurnalistik, karena dia menganggap pers merupakan sebuah alat perjuangan yang cukup efektif saat itu. Tidak hanya itu, dengan menggeluti dunia jurnalistik, maka dia bisa mencurahkan seluruh keresahan hatinya dalam berbagai karangan.
Hal itu memang terbukti dalam berbagai tulisan-tulisannya. Sebagian besar tulisan Soewardi memang menggambarkan keresahan hatinya akan sebuah bangsa yang merdeka, dan bebas. Tulisan pertamanya dalam De Express pun tidak jauh-jauh dari wacana kebebasan. Tepatnya, saat itu Soewardi menulis sebuah tulisan dengan judul “Kemerdekaan Indonesia”.
Dalam tulisan itu Soewardi menyatakan, jika setiap pergerakan politik bebas, harus dimulai dengan memutuskan perhubungan-perhubungan kolonial dan harus menuju ke penghidupan rakyat yang bebas. Menurutnya, selama hubungan tersebut masih berlangsung, berarti selama itu pula aka nada ikatan yang memungkinkan terasanya tekanan penghidupan rakyat. 
Sejumlah tulisannya saat itu dikenal pedas melakukan kritikan terhadap berbagai kalangan. Bahkan, pada tanggal 16 Agustus 1917 Soewardi menulis sebuah artikel berjudul “Pernyataan Prinsip Seorang Nasionalis Hindia”.1
Artikel itu berisi kritikan tajam terhadap kaum sosialis yang ada di Hindia Belanda. Saat itu, Soewardi merasa para kaum sosialis di bawah pimpinan Sneevliet menghalangi perjuangan kaum nasionalis, dimana salah satunya termasuk Soewardi. “Tapi kami orang Hindia merasakan benar, bahwa nasionalisme dalam perjuangan kami ini hanya merupakan senjata, dan bukan tujuan. Pada tahap pertama senjata itu masih kami perlukan, sebab perjuangan yang kami hadapi sekarang ini adalah melawan imperialisme Negeri Belanda. Namun, demokrasi pun terdapat dalam gudang senjata kami; dan senjata ini akan mencegah kami mengambil langkah-langkah keliru dalam kami menempuh jalan yang sulit menuju kemerdekaan itu,”tulis Soewardi dalam artikel tersebut.
Meskipun tampak jelas jika apa yang dilakukan oleh Soewardi kurang disukai oleh kelompok Sneevliet, namun hal itu tidak membuat Soewardi untuk membentuk front melawan kaum sosialis. Soewardi justru beberapa kali menyatakan rasa simpatinya kepada kaum sosialis. Salah satunya seperti ucapan selamatnya kepada Social Democratiche Arbeiders Partij (SDAP), atau Partai Buruh Sosial Demokrat yang ada di Belanda.

Ucapan selamat itu dimuat dalam harian Het Volk yang terbit pada tanggal 12 Juli 1918. Ketika itu SDAP baru saja memenangkan pemilihan umum di Belanda. Bahkan, secara terang-terangan Soewardi juga menyatakan, jika hanya kaum sosialis yang mampu membela kepentingan Hindia.
Sikap keras dalam melakukan perlawanan yang ditunjukkan oleh Soewardi terhadap Pemeritah Hindia Belanda, salah satunya memang disebabkan oleh perlakuan yang diterima olehnya dan keluarganya. Sebab, meskipun masih merupakan keluarga Kesultanan Paku Alam, namun Soewardi tampaknya merasa apa yang diterima keluarganya dan keluarga pangeran lainnya sangat berbeda.
Hal itu terbukti dengan pendidikan yang diterimanya. Soewardi, dan saudaranya Soerjopranoto tidak mendapatkan pendidikan dari HBS. Saat itu, HBS merupakan simbol pendidikan bagi keluarga ningrat yang memiliki posisi istimewa. Salah satu sikap keras Soewardi juga terlihat saat dia menyikapi kebijakan pemerintah kolonial yang akan merayakan kemerdekaan Belanda ke-100.
Soewardi pun menuangkannya dalam sebuah tulisannya yang berjudul Als Ik een Nederlander Was, atau Kalau Saya Seorang Belanda. Berikut adalah isi lengkap dari tulisan yang dimuat di surat kabar De Express 13 Juni 1913 tersebut.
“Dalam berbagai karangan di surat-surat kabar banyak sekali dipropagandakan untuk mengadakan suatu pesta besar disini, di Hindia: pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk negeri ini tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang genaplah seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah Nederland menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut sudah sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya, tanda setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga mereka , bahw seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan jubileum semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan orang Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta pada tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya, dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu., hari perayaan kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan parau ikut serta menyanyikan lagu “wilhelmus” dan “wien Neerlands Bloed”, apabila nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala pernyataan itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala kebaikan-Nya, saya akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland kekal kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut saya, suatu hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh, apabila kita—saya masih seorang Belanda umpamanya–orang-orang bumiputra disuruh ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita, pertama, akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas tanah air mereka yang kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita sekarang beriang-riang gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari kekuasaan asing; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang masih berdiri di bawah kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan, bahwa budak-budak yang sial itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka seperti kita sekarang dapat mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas semangat yang hidup sudah membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa bumputera? Kalau begitu kita akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan pesta perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan disini, di negeri yang terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa sekarang ini, masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada pada permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “ Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini telah lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu, sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya sorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda, bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.

Apabila nanti diadakan pemungutan biaya, saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi belanja rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra jajahan Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan Nederland, negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada oorang-orang sebangsa saya, orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam pesta itu, sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita akan mendapat di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan kita dan kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan “demonstrasi kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang, lepas dari segala ironi.

Seperti telah saya katakan pada permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang menjadi keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya ialah terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal yang bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi kami dengan kemerdekaan”– pendek kata tidak selama Tuan Idenburg menjadi walinegara, dan lagi–ganjil benar–ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan pendapat yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar bumiputra “Kaoem Moeda” dan dalam “ De Express” untuk membentuk di Bandung, tempat datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat komite, suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar; pada hari perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Ratu, yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera mengadakan suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu–apalagi bagian yang kemudian–saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah merupakan suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di situ tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak ikut serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata sejelas-jelasnya dari cara bangunanya bangsa Hindia, bahwa emansipasi–proses kemerdekaan– itu cepat sekali jalannya, disitu dapat dipikirkan kemungkinan bahwa bangsa ini, yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari tuannya. Bagaimana nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De tweede kamer yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah, kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa komite tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya perlahan-lahan bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana paling bagus beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang dikatakan wakil kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu–lihat misalnya gemeenteraden–disana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul yang hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya memajukan protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat diperkenankan, dan tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa tepat pada hari orang Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada Ratu dengan permohonan untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu bangsa yang 40 juta orang jumlahnya.

Lihatlah, sekarang sudah, betapa pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.”
Artikel itu sebenarnya merupakan sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk melakukan peringatan tersebut.
Artikel itu sebenarnya merupakan sindiran Soewardi terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda saat itu akan merayakan kemerdekaannya dari Perancis yang ke-100. Kebijakan itu adalah memungut biaya dari rakyat Hindia Belanda untuk melakukan peringatan tersebut.
Tentu saja, hal itu ditentang oleh Suwardi. Suwardi menganggap, apa yang dilakukan oleh Belanda jelas bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang sedang diperingatinya itu.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda saat itu sesuatu yang ironis, dan sama sekali tidak etis. Satu sisi, Pemerintah Belanda ingin merayakan kemerdekaannya, namun di sisi lain pemungutan biaya peringatan kemerdekaan dari koloninya adalah sesuatu yang bertentangan dengan semangat kemerdekaan.
Sebagai bangsa yang pernah terjajah, dan saat itu telah merdeka, seharusnya Belanda juga memahami perasaan bangsa-bangsa yang menjadi koloninya seperti Hindia. Bahkan, dalam bentuk sindiran Soewardi menyatakan dia ingin mengetahui bagaimana perasaan orang-orang Belanda.
 “Saya ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari cacat-cacat asing.”
Sangat jelas jika kata-kata itu merupakan sindiran tajam Soewardi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sindiran itu tidak hanya ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda saja. Melainkan kepada seluruh setiap orang Belanda.
Soewardi seolah ingin mempertanyakan, bagaimana mungkin bangsa yang sedang merayakan kemerdekaannya, dan memuja-muja perasaan merdeka, bisa melakukan penindasan terhadap koloni-koloninya? Menurutnya, Pemerintah Belanda justru ingin melanggengkan apa yang selama ini telah dilawan, dan berusaha dihilangkannya dari Perancis, yaitu penjajahan. Lebih tegas lagi Soewardi menyatakan, Pemerintah Belanda dan seluruh orang Belanda yang memiliki jiwa merdeka, tidak seharusnya bisa melalui perayaan kemerdekaan itu dengan memungut biaya dari kaum pribumi di Hindia.

Tidak hanya itu, menunjukkan kegembiraan dalam merayakan kemerdekaan di hadapan kaum pribumi, juga dinilai Soewardi akan melukai perasaan kaum pribumi di Hindia. Oleh karena itu, Soewardi mendesak sebaiknya hal itu tidak dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. “Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.”Petikan tulisan itu jelas Soewardi menganggap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah sebuah kekeliruan besar.
Lebih lanjut, Soewardi menyebut apa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda saat itu merupakan sebuah kebijakan yang memalukan. Sebab, mereka merayakan peringatan kemerdekaan negaranya di tempat yang bukan merupakan tanah airnya. Justru, dengan melibatkan rakyat Hindia untuk ikut merayakan kemerdekaan Belanda akan menjadi bumerang.
Rakyat yang sedang menyaksikan kemerdekaan Belanda, akan tertanam juga dalam benak mereka, jika suatu saat mereka juga bisa mencapai kemerdekaan semacam itu. Mereka akan berpikir, menjadi merdeka bukanlah sesuatu yang mustahil, karena bangsa Belanda yang pernah dijajah Perancis pun bisa merdeka, bahkan bisa melakukan penjajahan terhadap bangsa lainnya.
Sehingga, hal itu akan memicu munculnya pergerakan maupun perlawanan rakyat Hindia. Rakyat Hindia yang awalnya kehilangan tenaga setelah beberapa tahun silam sumber dayanya terkuras akibat tanam paksa, akan kembali menemukan semangatnya.
Padahal, Soewardi berpendapat, jika tidak ada perayaan kemderdekaan itu di Hindia, maka rakyat Hindia saat itu sebenarnya “sedang tertidur”. Namun, dengan adanya perayaan itu, bahkan dengan meminta rakyat Hindia ikut membiayai perayaan itu, maka Pemerintah Hindia Belanda akan membangunkan rakyat Hindia dari tidurnya.
Lebih dari itu, Soewardi juga mempertanyakan esensi dari perayaan kemerdekaan itu di tanah Hindia. Menurutnya, pelaksanaan perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia tak lebih hanya sekedar pamer kekuatan. Terlebih, bagi rakyat Hindia hal itu sama sekali tak berarti.
Alasannya, saat itu masyarakat pribumi di Hindia bisa dianggap sama sekali tidak memiliki ikatan emosional dengan Belanda. “Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan,” begitu tulis Soewardi dalam artikel tersebut.
Akibat tulisannya itu, pemerintah pun menjatuhinya sanksi untuk diasingkan ke Belanda pada tanggal 18 Agustus 1913. Namun, saat di Belanda, Soewardi justru masih bisa melakukan aktivitas perjuangannya. Di sana dia justru malah banyak melakukan interaksi dengan sejumlah aktivis, dan mahasiswa, serta mendirikan media. Hal itu terus dilakukannya hingga dia pulang kembali ke tanah air.


dikutip : diskusi Online Indonesia 
Read more...

secarik sejarah Buya Hamka

0 comments

Image result for buya hamka

Jalan Hidup Aktivis: HAMKA

Hamka adalah pseudoname dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka lahir dengan nama Abdul Malik. Ayahnya, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, yang dikenal dengan nama Haji Rasul, adalah pembaharu Islam di Sumatera, salah satu tokoh utama Kaum Muda, pendiri Sumatera Thawalib, dan murid dari Syekh Khatib al Minangkabawi, Imam Masjidil Haram asal Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Seperti yang kita ketahui, Hamka adalah seorang yang ahli di berbagai bidang. Ia adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, negarawan, jurnalis, budayawan, dan ahli tasawwuf.
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ibunya bernama Shafiyah dan ayahnya Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah). Masa kecilnya dimulai dengan belajar Al Qur’an bersama kakaknya, Fatimah, di Padang Panjang. Pada 1915, Hamka masuk Sekolah Desa, setahun kemudian, pada 1916 ia masuk Sekolah Dinijah yang didirikan Zainuddin Labay, salah seorang dari Kaum Muda. Pada 1918, ia masuk Sumatera Thawalib yang baru didirikan. Akhirnya Sekolah Desa ia tinggalkan dan bersekolah di Sekolah Diniyah dan Sumatera Thawalib, dan malamnya belajar mengaji di surau. Hamka memutuskan berhenti sekolah saat kelas II, karena merasa dibebani dan terkekang.
Pada 1920, ia menyaksikan perceraian orangtuanya, menjadi titik awal konflik berkepanjangan antara ia dan ayahnya, Haji Rasul. Kejadian itu mengubah hidupnya selamanya, ia merasakan betapa pahitnya perceraian orangtuanya, apalagi ibunya menikah kembali dengan orang lain, seorang pengusaha dari Deli, dan ayahnya (Haji Rasul) pun menikah dengan seorang perempuan lain. Masa itu Hamka jadi lebih suka bermain di kampung dan nagari lain di Minangkabau seperti Parabek dan lainnya. Ia lebih suka menyendiri.
Pada Juli 1924, ia memutuskan pergi ke Jawa. Yogyakarta adalah kota yang ia kunjungi pertama kali. Di kota itu ia ikut kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam. Di sana ia diajar oleh HOS Cokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Suryopranoto, Fakhruddin hingga Ki Bagus Hadikusumo. Setelah di Yogyakarta, ia berpindah ke Pekalongan. Di sana ia bertemu dengan AR Sutan Mansur, iparnya sekaligus orang yang ia anggap guru. Pada Juni 1925, ia pulang kembali ke Minangkabau, yang ternyata ide-ide Komunisme telah menyebar secara progresif. Pada 1926 terjadi pemberontakan komunis di Jawa, dan 1 Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Kurun waktu yang sama telah didirikan Muhammadiyah di Maninjau oleh Haji Rasul (meski Haji Rasul tidak menjadi pengurusnya) dan juga terbit karangan pertama yang dieditori Hamka: Chatibul Ummah (1926). Pada Februari 1927, usianya masih 19 tahun, Hamka pergi ke Mekkah tanpa minta izin ke ayahnya, ia kembali pada awal tahun 1928. Ia memutuskan menetap di Medan untuk aktif dalam dunia jurnalistik.
Pada 5 April 1929, ia menikah dengan Siti Rahim, atas saran ayahnya (Haji Rasul). Pada tahun yang sama (1929), ia mengarang buku: 1) Sejarah Sayyidina Abubakar Asshiddiq, 2) Ringkasan Tarikh Umat Islam, 3) Agama dan Perempuan, 4) Kepentingan Mubalig, 5) Adat Minangkabau dan Agama Islam. Buku yang terakhir itu dilarang beredar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada 1930 (usia 22 tahun), ia berpidato di Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi tentang ‘Agama Islam dalam Adat Minangkabau’. Pada 1931, ia berpidato di Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta tentang ‘Perkembangan Muhammdiyah ke Sumatra’. Pada akhir 1931, datang surat dari Hoofdbestuur Muhammadiyah yang menyampaikan maksud dari Muhammadiyah Cabang Makassar agar ia diutus menjadi mubalig di sana. Akhirnya Hamka datang ke Makassar pada akhir 1931 hingga 1934. Di Makassar ia aktif dalam berbagai hal: ekspansi dakwah, sastra, pendidikan, hingga persaingan dan konflik dengan tokoh2 Sarekat Islam Makassar yang disampaikan melalui surat kabar masing-masing. Untuk membahas aktivisme Hamka di Makassar ini butuh buku tersendiri, insya Allah akan kita bahas lebih rinci pada kesempatan lain.
Kembali ke Padang Panjang pada pertengahan 1934, ia mendirikan Kulliyatul Muballighin dibawah organisasi Muhammadiyah. Beberapa muridnya dari Makassar ikut menjadi murid di sekolah tersebut. Pada 1935, lahir anaknya yang ketiga, Rusydi Hamka. Pada Januari 1936, ia pindah ke Medan, memenuhi tawaran untuk menjadi Pemimpin Redaksi majalah Pedoman Masyarakat. Edisi I majalah tersebut terbit pada 22 Januari 1936. Salah satu isi dari majalah tersebut adalah cerita bersambung karangan Hamka dan penulis lainnya. Kumpulan cerita bersambung itu diterbitkan sebagai buku, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939). Novel pertama terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada 1927, sedangkan novel kedua terinspirasi dari pengalamannya di Makassar pada 1931-1934. Keduanya diterbitkan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 1943, majalah Pedoman Masyarakat dibredel oleh Jepang.  Namun Hamka diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai (semacam DPD) dan sekaligus propagandis Asia Timur Raya. Pada 23 Oktober 1943 didirikan Masyumi sebagai pengganti MIAI, juga diatur oleh Jepang. Dengan demikian Hamka otomatis masuk ke dalam dunia politik yang lebih dinamis.
Pada masa ini Hamka memutuskan pindah dari Medan dan kembali ke Sumatera Barat, dan menjadi Ketua Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Ia tentu saja aktif dalam politik menentang keinginan Belanda dan sekutu untuk menjajah Indonesia kembali. Ia berkeliling Sumatera Barat hingga Riau dan membangkitkan semangat rakyat melawan agresi militer Belanda. Pada Juli 1947, Hatta datang ke Sumatera Barat. Namun karena Pematang Siantar jatuh pada agresi militer Belanda yang pertama (21 Juli 1947),  maka ia mengumpulkan tokoh2 penting Sumbar ke Bukittinggi untuk menyatukan laskar2 yang terlalu banyak dan menegaskan bahwa mereka harus bersatu melawan usaha Belanda untuk kembali menjajah. Dibentuk pula Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) dimana Hamka diangkat menjadi pimpinannya bersama Rasuna Said dan lainnya.
BPNK adalah organisasi fisik yang terdiri dari pemuda2 usia 17-35 tahun yang akan berhadapan langsung dengan tentara Belanda. Pada September 1947, Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, AS) mengutus konsul mereka ke Bukittinggi. Hamka dan para pimpinan BPNK dan MPRD (Markas Pertahanan Rakyat Daerah) mengumpulkan 10.000 orang untuk berdemonstrasi di depan Rumah Tamu Agung (tempat kediaman Wakil Presiden Hatta selama di Bukittinggi), sebagai isyarat bahwa rakyat betul ingin merdeka. Hamka menyelesaikan tugas sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional hingga penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda di Den Haag pada akhir Desember 1949. Pada 1955 diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) demokratis pertama di Indonesia, tujuannya adalah memilih anggota Konstituante. Hamka terpilih sebagai seorang anggota dari total 550 anggota Konstituante. Tugas utama Konstituante adalah merumuskan dasar negara, atau Undang-Undang Dasar, untuk menggantikan UUDS 1950. Sidang pertama tercatat pada tanggal 10 November 1956. Namun sampai 1959, Konstituante tidak berhasil sepakat melahirkan UUD baru. Di tahun itulah Sukarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Singkat cerita, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dengan demikian negara kembali ke UUD 1945. Keputusan lain dari dekrit tersebut adalah Konstituante dibubarkan serta MPRS didirikan.
Dampak dari konflik ideologi antara (secara umum) Masyumi dan Sukarno ini melahirkan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Meskipun Hamka tidak masuk PRRI, ia tentu masuk dalam konflik berkepanjangan antara Masyumi dan Sukarno. Pada 1960, majalah terkemuka Panji Masyarakat dimana Hamka menjadi Pemimpin Redaksinya, menerbitkan salah satu tulisan Hatta yang paling terkenal: Demokrasi Kita. Isinya adalah kritikan mantan Wapres Hatta  pada Sukarno atas gagasan Demokrasi Terpimpin yang dianggap dekat dengan totaliterianisme. (Hatta telah mundur sebagai Wapres pada 1956, juga karena konflik dengan Sukarno). Empat tahun kemudian (27 Januari 1964), setelah memberikan pengajian di Masjid Al Azhar, Hamka ditangkap dengan tuduhan subversif ingin menumbangkan Sukarno –tuduhan yang akhirnya tidak pernah terbukti. Hamka dibebaskan pada 26 Januari 1966. Meski dipenjara dua tahun di bawah pemerintahan Sukarno, di sanalah lahir satu karya monumentalnya: Tafsir Al Azhar, komentar dan tafsirnya atas Alquran 30 juz. Setelah keluar dari penjara, ia aktif mengisi ceramah di RRI dan TVRI, dan menjadi Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Pada Mei 1981, ia mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI karena tidak mau menarik fatwa penghukuman ‘haram’ bagi umat Islam merayakan Natal bersama.
Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir di Jakarta.  Tentunya tidak gampang mengulas sejarah satu orang dalam waktu dua jam saja. Apalagi orang yang dibahas adalah orang seperti Hamka yang seorang intelektual Islam, ahli tasawwuf, sejarawan, jurnalis handal: seorang yang mengumpulkan banyak keunggulan dalam satu diri.

Dikutip : Diskusi Online Indonesia

Read more...

sejarah Dr Cipto Mangunkusumo

0 comments

Image result for Dr Cipto Mangunkusumo
Dr Cipto Mangunkusumo

Cipto pernah berkata “Aku adalah anak dari rakyat, anak si kromo…..” demikianlah kata-kata Cipto muda tatkala menjadi murid di STOVIA. dari buku biography Dr Cipto Mangunkusumo pada halaman awal. Cipto seolah-olah ingin menunjukan bahwa dia adalah golongan rakyat jelata yang pada saat itu dianggap terbelakang yang tidak berhak dan pantas sejajar dengan orang-orang belanda.  Benarkah Cipto berasal dari rakyat biasa? Lantas bagaimana Cipto bisa mengenyam pendidikan hingga bisa menjadi dokter? Dan bagaimana pula seorang dokter dapat terjun dalam dunia politik hingga mendirikan partai politik?
Dari Lahir sampai Kuliah
Sebelum membahas lebih jauh tentang pertanyaan di atas, ada baiknya kita mengetahui latar belakang kehidupan mulai kecil hingga dewasa. Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, kota Jepara. Putra pertama dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Jepara. Tanahnya luas dan sebagian besar disewa oleh pabrik gula untuk ditanami tebu, daerah ini pula merupakan potret berlakunya Culture Stelsel pada masa kolonial Belanda.
Bu Mangunkusumo menamakan anaknya Cipto yang artinya adalah Ciptaan. Hal ini jelas bahwa keluarga Mangunkusumo memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan Maha Pencipta atas segala sesuatu. Termasuk anak yang dilahirkan Bu Mangunkusumo Tuhanlah yang menciptakannya. Bayi cipto ditandai dengan keningnya yang lesung yang menurut omongan orang jawa suatu pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang yang pandai. Secara rasional kita tidak dapat menyimpulkan atau membenarkan ramalan tersebut. Namun demikian kita telah melihat fakta bahwa Cipto merupakan sosok yang pandai atau mempunyai kecerdasan yang tinggi.
Saudara Cipto berjumlah 11 orang dan dia yang tertua dari 11 bersaudara. Adik-adiknya bernama Budiharjo (1887), Gunawan (1889), Badariyah (1895), Samsul Ma’arif (1897), Murtinah (1899), Darmawan (1901), Kartono (1907), Kartini (1901) dan yang paling bungsu bernama Suyitno (1909). Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Dari 11 anaknya  ada yang menjadi dokter yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif yang lulus dari sekolah STOVIA di Batavia. Darmawan, adiknya bahkan berhasil menjadi Insinyur dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa STIH Jakarta kala itu.
Semasa kanak-kanak, Cipto sudah menunjukkan watak yang berkobar-kobar, melakukan perbuatan yang nakal, tetapi cerdas dan bersifat kesatria. Hal ini dapat terlihat kelak sebagai seorang dokter, dia sangat menguasai bidangnya dan penguasaan pengetahuannya dalam bidang kepemimpinan, politik, filsafat maupun seni dll, dapat dikatakan dari semua saudara Ciptolah yang terpandai.
Setelah Cipto berumur 6 tahun oleh orangtuanya Cipto disekolahkan di sekolah Belanda di Ambarawa. Semuda itu dia sudah harus berpisah dengan orang tuanya dan adiknya-adiknya. Disinilah nampak pemikiran pak Mangunkusumo yang ingin memajukan pendidikan anak-anaknya. Ambarawa dipilihnya sebagai tempat pendidikan bagi Cipto. Ambarawa adalah kota yang cukup maju waktu itu. Di kota pegunungan dengan pemandangan yang indah dan sejuk itu banyak bermukim orang-orang Belanda. Pemandangan yang indah dan hawanya yang cukup sejuk membuat kerasan orang-orang Belanda. Disebelah selatan Ambarawa terbentang rawapening, dilembah Rawa Pening itulah dibangun benteng oleh Belanda , karena itu tidak mengherankan kalau di kota Ambarawa berdiri sekolah-sekolah bagi kepentingan orang Belanda.
Bagi pak Mangunkusumo yang mencita-citakan kemajuan bagi anak-anaknya yakni agar setaraf dengan anak-anak bangsa kulit putih, adalah wajar untuk mengirimkan Cipto semuda itu ke ambarawa. Dan bersekolah di Europeesche lagere school di kota tersebut. Di Ambarawa Cipto tinggal pada keluarga Mangunwardoyo yakni saudara sepupu Mangunkusumo.
Bakat memimpin Cipto sudah terlihat sejak anak-anak, teman-teman sebayanya senang bergaul dengan dia dan dialah yang seolah-olah sebagai pemimpinnya. Sebagai anak-anak pada umumnya, kenakalan-kenakalan sudah pasti ada dalam dunianya, pernah suatu ketika bu Mangunwardoyo di datangi cina dengan pakaian traditional dan rambut kuncir panjangnya yang khas. Cina itu marah kepada bu Mangunwardoyo karena anaknya menarik rambut kuncir orang cina itu. Anak itu tidak lain adalah Cipto.
Umur 12 tahun lulus Cipto lulus dari Europeeshe lagere school di ambarawa dan mencoba ikut ujian klein ambtenaar (pegawai pahreh praja) dan lulus nomor satu. Pada waktu dia ke Purwodadi, Cipto dibawa ke Kabupaten oleh orang tuanya yaitu pak Mangunkusumo. Yang pada waktu itu menjadi guru di sekolah dikota tersebut.
Karena hasil ujian Cipto sangat bagus, oleh istri Bupati Purwodadi yang masih ada hubungan family dengan bu Mangunkusumo diadakanlah slamatan, syukuran dan pesta alakadarnya dengan permainan wayang kulit semalam suntuk. Pada saat itulah pak Cipto menanyakan sekolah lanjutan yang Cipto inginkan. Dengan sangat mengejutkan Cipto menolak untuk menjadi pegawai. Dimana saat itu memang sekolah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pegawai kolonial Belanda didaerah”.
Jawaban Cipto sangat mencengangkan bagi orang yang mendengarnya, dimana pada saat itu memang lingkungan masyarakat pada waktu itu adalah masyarakat feodal. Yang masih ketat dalam masalah jongkok dan sembah.
Pak Mangunkusumo kemudian memberikan pandangan kepada Cipto tentang sekolah dokter yang baru dibuka di kota Betawi. Dengan pasti Cipto mengiayakan untuk melanjutkan sekolah dokter dgn waktu tujuh tahun lamanya kala itu.
Di STOVIA, Cipto termasuk golongan siswa terbaik. Bakatnya yang besar itupun diketahui oleh gurunya, “En begaufld leerfing” (murid yang berbakat besar) kata gurunya. Cipto adalah anak yang selalu menunjukkan kesungguhan tampak dari raut wajahnya. Sekilas pandang Cipto nampak sebagai seorang pendiam, namun hal itu tak berarti dia tak pernah tertawa. Kalau tertawa, terasa sejuklah bagi siapa saja yang mendengarnya. Dia juga siswa yang paling sering mendebat dan berpidato. Dari pada pergi berpesta lebih suka dia dikamar membaca buku atau datang ke ceramah-ceramah.
Sebagai anak yang baru belasan tahun umurnya (dia masuk stovia umur 13 tahun, 1-3-1899, dan keluar umur 19 tahun, 28-10-1905). Harta –benda yang paling berharga yang dia bawa tatkala dia dibuang di pulau Bangka tak lain ialah buku-bukunya. Tatkala kembali kejawa dari pembuangannya buku-bukunya tak ketinggalan pula. Cipto adalah anak yang adaftif dalam menghadapi kesulitan setelah dia terlepas dari lingkungan orang tuanya.
Namun kita juga tidak mengetahui apakah Cipto terhitung anak yang sulit selagi masih di rumah. Dapat juga tidak demikian. Kita bisa melihat bahwa memang lingkungan keluarga Mangunkusumo dan Istri termasuk keluarga berkecukupan dan tergolong bangsawan Jawa. Yang jelas setelah hidup dalam lingkungan sekolah nampak jiwanya mendapat jalan untuk berontak terhadap keadaan sekelilingnya yang menekan jiwanya, sedangkan dirumah ikatan tradisi sangat kuat.
Dokter sebagai Profesi
lapangan kedokteran adalah tempat yang paling sesuai untuk bergerak dalam membela bangsanya. Karena seorang dokter dapat bebas untuk bergerak tanpa tergantung hidupnya (gaji) dari pemerintah belanda. Tidak seperti pegawai pemerintah yang hidupnya sangat tergantung terhadap tuannya.
Akan tetapi terikat dengan syarat-syarat yang berlaku di STOVIA, Cipto harus menjalankan tugas dinas sebagai dokter pemerintah selama beberapa tahun, dia ditugaskan di Batavia sejak lulus tahun 1905. Tahun 1906 dia dipindahkan di Demak, Jawa Tengah sampai 1908.
Kesenangannya menulis nampak jelas sejak tahun 1907 di harian The Locomotief. Isinya terutama berkaitan dengan kondisi masyarakat yang tidak sehat. Cipto mengkritik bahwa hubungan feudal dan kolonialisme adalah sumber penderitaan rakyat. Dalam hubungan feudal, rakyat umum sangat terbatas ruang gerak dan aktivitasnya. Dalam masyarakat feudal berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib sesorang dan bukan keahlian ataupun kemampuan. Sehingga bagi anak desa akan tetap tertinggal dan terbelakang dari anak Bupati atau ningrat lainnya.
Suatu dalil dalam sejarah kolonial yang telah diketahui umum ialah bahwa pemerintah kolonial bersendikan perbedaan warna kulit sehingga masyarakat terbagi dalam dua golongan yang dipisahkan oleh colour line (garis warna). Diskriminasi membawa perbedaan diberbagai hal misalnya dalam hal hukum, soal pengadilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja seperti rodi dan kerja desa. Yang menjadi ukuran dari semua itu adalah warna kulit. Bangsa Indonesia tidak mendapatkan kesempatan untuk berdagang dan mendapatkan pendidikan secara layak dan adil. Tidak sembarang anak Indonesia yang boleh masuk ke sekolah eropa. Dan tidak ada pula orang Indonesia yang berani untuk menembus batas larangan dan diskriminasi. Tetapi tidak untuk Cipto, sebagai protes Cipto terhadap diskriminasi ras itu seringkali Cipto bertindak aneh-aneh terhadap pemerintah kolonial salah satunya dengan mengkritik melalui tulisan
Karena tulisannya yang begitu berani mengkritik pemerintah kolonial, Cipto sering mendapat teguran dari atasannya. hingga akhirnya Cipto pun memilih keluar dari ikatan dinas dengan konsekuensi harus mengembalikan uang ikatan dinas yang tidak sedikit. Walaupun berat jalan itu ditempuh demi kebebasan gerak cipto untuk membela bangsanya.
Jabatan ikatan dinas ia tinggalkan lantas ia meninggalkan pula kota Demak dan berpindah ke kota Solo. Di Solo Cipto membuka praktek kedokterannya sebagai dokter partikelir. Disinilah Cipto mengenyam kebebasan dalam membela rakyat melalui jarum suntiknya. Tidak sedikit pasien yang memang tidak mampu dalam berobat hingga akhirnya pun cipto menggratiskan pengobatan bagi yang tidak mampu, bahkan memberikan bantuan uang untuk membeli obat perawatan.
Karena itu tidak mengherankan kalau seringkali keuangan keluarganya mengalami defisit. Keadaan demikian juga dialami setelah Cipto pulang dari pembuangan di negeri belanda tahun 1914 dan untuk kedua kalinya dia tinggal di Solo. Namun Cipto dengan istrinya yang kedua seorang Belanda dari keluarga De Vogel, dapat merasakan kebebasan karena kebebasannya dalam menolong rakyat. Nyonya de vogel walaupun seorang Belanda asli, akan tetapi justru pengorbanannya begitu besar dalam berjuang membela rakyat Indonesia bersama Cipto suaminya. Cipto memang mendapatkan seorang pendamping yang sangat tepat sekali dalam perjuangan politiknya.

Menulis Wujud Perlawanan

Melalui De Locomotief, surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Sebagai seorang dokter yang menguasai bidangnya maka ditahun 1914 mengemukakan suatu uraian ilmiah tentang penyakit pes uraiannya itu dikemukakannya dalam suatu sidang raya di s’Gravenhage, Nederland. Uraian itu berisi tentang pengendalian wabah pes yang sempat melanda indonesia. Dengan uraian yang ditulis dan dipidatokan dalam bahasa Belanda, Cipto telah menunjukan dan membuktikan kepada belanda bahwa pribumi mampu menyamai bangsa kulit putih di bidang intelektual dan bangsa kulit berwarna bukan bangsa rendahan.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda nya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Pada tahun 1912 Cipto juga sempat menjadi anggota redaksi penerbitan harian De Express dan majalah het Tijdschrijft di Bandung. Cipto ingin menjadi anggota redaksi tak lain agar dekat dengan Douwes Dekker. Cipto dan Douwes Dekker merupakan tokoh yang sehaluan. Cipto dan Douwes Dekker sudah kenal sejak Douwes Dekker masih bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.  Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Maka dilakukanlah Aksi Komite Bumi Putera yang mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Pun ketika masa-masa pembuangan, Selain menjalankan profesi sebagai dokter partikelir Cipto hidup dengan perjuangannya melalui tulisan. Seperti halnya ketika dia dibuang di Belanda.  Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik Indische Partij dengan menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda. 

Penghasilan
Sumber penghasilan Cipto Selama masa perjuangan dapat disimpulkan berasal dari profesinya sebagai dokter, baik ketika menjadi dokter ikatan dinas pemerintah kolonial belanda maupun ketika membuka praktek sebagai dokter partikelir. Selain penghasilan dari dokter kemungkinan Cipto mendapatkan penghasilan melalui tulisan-tulisan yang dia buat di berbagai Harian maupun majalah kala itu. Walaupun secara tersirat tidak di jelaskan dalam buku biography Dr Cipto Mangunkusumo bahwa Cipto mendapatkan imbalan atas tulisan-tulisan yang dia buat tetapi kita bisa melihat dari kisah Hatta yang juga mendapatkan penghasilan sampingan melalui tulisan. 
  

Rujukan Utama:
Soegeng reksodihardjo, 2012, Dr Cipto Mangunkusumo, Cetakan ketiga, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Read more...

Sunday, March 25, 2018

sejarah dewi sartika

0 comments

*--Dewi Sartika (Masa kecil dan Remaja) --*

Dewi Sartika yang dilahirkan pada tanggal 4 Desember tahun 1884 adalah putri pertama dan anak kedua dari R. Rangga Somanagara, Patih Bandung. Ibunya R.A Rajapermas, putri bupati Bandung R.A.A Wiranatakusumah IV, yang terkenal dengan sebutan dalem bintang.

Dewi sartika, sebagai anak perempuan keturunan priyayi dan memiliki Ayah yang merupakan Patih Bandung, diberikan pendidikan dasar. Meskipun bukan kebijaksanaan umum pada saat itu karena pendidikan lembaga - lembaga (sekolah) masih baru sekalipun untuk golongan priyayi. Tapi pikiran yang baru dari ayahanda menjadikan bekal yang sangat berharga untuk dewi sartika. Sebagai anak dari golongan priyayi, ia termasuk sejumlah kecil yang beruntung diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah kelas satu (eerste klassr school). Sampai suatu kejadian penting dalam keluarga mengakhiri masa sekolah yang pendek itu. Saat dewi sartika duduk di kelas 2B.

Di sekolah kelas satu dewi sartika mendapat pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Bahasa belanda dan pengetahuan lainnya. Dewi sartika pun hidup dalam keluarga yang damai dan indah. Sehingga mampu membentuk kedewasaan dewi sartika. Namun kedamaian terenggut ketika ayahanda dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit pada pertengahan bulam Juli tahun 1893. Hukuman buangan ke ternata membuat pecah keutuhan keluarga, sang Ibu ikut menyertai ayahanda ke tempat buangan. Sumber penghidupan hilang, sehingga anak - anak dititipkan  pada sanak keluarga. Dewi sartika berlainan dengan saudara yang dititipkan diantara leluarga di bandung, bapak tuanya berkenan untuk membawa sartika hidup di tengah keluarga di Cicalengka.

Karena datang dari keluarga yang baru saja dijatuhi hukuman buang, dewi sartika diperlakukan dengan dingin. Dewi sartika tidak dianggap, ditempatkan dibelakang, jauh dari tempat lazim yang dihuni keluarganya atau putri putri anak didiknya. Hal tsb membuat dewi sartika sedih. Namun tidak banyak waktu untuk merasa sedih atau sepi, karena setiap hari ia punya tugas tertentu yang harus diselesaikan. Diantaranya ialah mengantarkan saudara  saudara sepupu pergi ke rumah seorang nyonya belanda untuk belajar bahasa belanda dan menulis membaca. Ia tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pembelajaran. dewi sartika hanya dibolehkan mendengarkan dari luar pintu saja. Tapi karena rasa ingin tahu yang besar dan fikiran yang cerdas, apapun yang ditangkap dari balik pintu telah menambah pengetahuannya.
Pada waktu itu hal yang biasa bahwa pemuda - pemuda yang dididik di sekolah - sekolah  Belanda, berpakaian necis nan rapih mempunyai istri yang sama dari kalangan priyayi sedang dididik dalam kecakapan kewanitaan, tapi tidak bisa membaca dan menulis. Ada kalanya mereka bisa, tapi jauh hari setelah menikah dan diajarkan oleh suaminya. Disamping anggapan orang tua yang masih memiliki pandangan tradisional bahwa wanita ialah kaum yang lemah dan tergantung pada nasib ayah atau suami. Pandangan yang sangat terbatas inilah yang menggugah hati Dewi Sartika muda. Ia melihat satu kekurangan saja, yakni buta huruf dialami rekan wanita seumurannya membuat mereka dibodohi dan diperlakukan semena.

Di lain pihak, buta aksara di kawan-kawannya Cicalengka itu sering terjadi hal yang lucu. Dewi sartika yang penuh humor sering menggoda mereka dengan mengubah isi surat dari para jejaka kepada gadis gadis tsb. Kadang menjadi ratap tangis, kadang menjadi gelak tawa. Kesedihan kemarahan dan kejengkelan tersebut yang menimbulkan hasrat untuk belajar baca tulis. Tidak hanya rangsangan tersebut yang dilakukan dewi sartika untuk mengubah keaadaan buta huruf di lingkungan kediaman Patih Aria, tapi juga dengan perbuatan nyata.

Diantara waktu senggangnya, sambil bermain dengan anak pelayan, di halaman belakang, ataupun di sudut tempat lain, dengan papan atau genting sebagai tempat menulis dan arang sebagai kapur, Uwi mulai mengajarkan aksara. Tekanan - tekanan yang dialaminya sebagai anak buang tidak menyurutkan semangatnya, justru menjadi pemantik untuk bangkit dan tumbuh. Niat untuk mengembalikan nama baik keluarga.

Dari kehidupan yang dialami di Cicalengka, Uwi mengamati bahwa ada sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi pendidikan teman sebayanya. Yaitu kecakapan membaca dan menulis disamping pengetahuan kewaniataan dll. Dari sinilah Uwi terpanggil. Ia ingin berbuat sesuatu untuk kemajuan kaumnya. Mengajarkan membaca menulis dan keterampilan lain pada wanita dirasakannya mampu. Untuk melaksanakan cita-citanya ini, Uwi menyadari bahwa selama masih berdiam bersama Pak Tuanya tidaklah mungkin. Maka ia memutuskan pergi dan kembali ke Bandung. Karena menurutnya Bandung memberi kemungkinan yang lebih baik.
*-- Kembali Ke Bandung --*
kondisi pendidikan jaman itu jauh dibilang dari menguntungkan pihak perempuan. Selain karena adat dan budaya yang menganggap tabu pendidikan untuk perempuan, pemerintah dan orang kebanyakan pun beranggapan bahwa perempuan tak perlu lah mengenyam pendidikan. Cukup laki - laki saja. Tak heran jika angka perempuan yang masuk sekolah pada tahun 1878  hanya 25 orang diantara 12.448 anak laki-laki, sedangkan tahun 1879 jumlahnya meningkat menjadi 301 orang diantara murid laki laki yang berjumlah 24.732 orang.

Para orang tua jaman itu beranggapan bahwa, pendidikan sekolah utama untuk anak perempuan tidak perlu, tidak ada gunanya. Anak perempuan pun dianggap lebih pantas di rumah dan melanjutkan keturunan, pelajaran yang diberikan tidak banyak berguna bagi wanita pribumi. Bahkan ada anggapan bahwa orang takut wibawa orang tua akan berkurang terutama dalam menentukan perkawinan.

Pemerintah juga berpendapat pendidikan untuk kaum pria harus didahulukan dan yang sudah berjalan harus diperbaiki sedang untuk wanita dirasa belum perlu.  Melihat situasi yang seperti inilah, Dewi Sartika terketuk hatinya untuk memulai perjuangan pendidikan bagi kaum Wanita. Ditambah berkaca pada sang Ibunda dimana kecakapannya hanya untuk menyemarakkan kehidupan aristokrat di lingkungan terbatas, dan hiasan kabupaten belala. Untuk mewujudkan keinginan itu, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung kala itu, RAA Martanegara (1893-1918). Pada mulanya Bupati tidak menyetuji niat dewi sartika untuk membuka sekolah untuk anak perempuan. Karena menurutnya mendapat tentangan yang keras dari masyarakat setempat.

_"jangan, perempuan tidak usah sekolah, asal bisa menanak nasi bisa menjahit mengabdi pada suami, sudah lebih dari cukup. Pahalanya surga. Apalagi mau belajar bahasa belanda segala"_

Akan tetapi penolakan ini tidak mengecilkan hati dewi sartika. Berulang kali permohonan diajukan. Pada akhirnya bupati yang tidak menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum wanita ini  dalam hati sebenarnya meluluskan permintaan sartika. _"apabila uwi sudah bulat keinginan, mudahan dimakbul oleh Allah yang menguasai seluruh alam. Kita coba dirikan sekolah. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, sekolah diselenggarakan di pendopo dahulu. Apabila tidak ada apa apa, bisa pindah ke tempat lain"_

Maka pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah *"Sekolah Istri"* (Sekolah Istri: Sekolah Gadis) untukjenisnya yang pertama kali di Indonesia. Murid murid pertama justru berasal dari kalangan biasa, bukan priyayi. Sesuai dengan prinsip yang dipegang Dewi Sartika bahwa Sekolahnya terbuka untuk siapa saja. Sambutan atas prakarsa dewi sartika mendapat kecaman dan cemoohan dari kalangan wanita priyayi. Dewi sartika telah menentang adat kebiasaan bangsawan, bekerja keras dengan tenaga dan budi akal demi kelangsungan sekolahnya, kata para wanita priyayi.
*-- Perjalanan --*

Animo untuk menjadi murid Sekolah Istri cukup besar  tempat tersedia yang terletak di halaman kabupaten sebelah barat tidak cukup menampung murid baru dan akhirnya pada tahun 1905 dipindah ke Jalan Ciguriang, tempat yang sekarang masih digunakan  sbg tempat belajar sekolah sekolah Yayasan Dewi Sartika. Banyak kelas sudah bertambah, pun halnya dengan pengajar yang terdiri dari para wanita priyayi yang dididik secara tradisional sukarela membantu Uwi.

Penyempurnaan rencana pelajaran dilakukan. Pedoman Pola pendidikan yang dilaksanakan seperti sekolah - sekolah pemerintah pada waktu itu, dengan menekankan pada pelajaran - pelajaran ketrampilan wanita seperti menjahit, menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, PPPK, memelihara bayi dan pelajaran agama. Disini yang menarik adalah, bahwa pelajaran agama baru diberikan di Lembaga Pendidikan untuk pertama kalinya. Karena sekolah pemerintah maupun sekolah swasta (kecuali sekolah swasta berasaskan agama) tidak memberikan pelajaran semacam ini.

Pada tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Suriawinata, seorang guru kemudian menjadi Kepala Sekolah Sekolah kelas Satu, Karang Pamulang. Perkawinan ini tidaklah menjadi penghalang bagi cita - cita dan karier Dewi sartika, bahkan sebaliknya suaminya memberikan pengertian dan bantuan sepenuhnya kepada istrinya. Pekerjaan suami sebagai guru banyak membantu dibarengi disiplin diri dan pembagian waktu yang tepat sehingga tercipta keserasian dalam menghadapi tugas rumah tangga dan pekerjaan.


Karena pertambahan murid setiap tahun cukup besar, pada tahun 1909 diadakan perbaikan, bantuan pun banyak diterima. Perhatian masyarakat dan pemerintah sudah mulai tampak, Sekolah Istri berubah namanya pada tahun 1910 menjadi "Sekolag Kautamaan Istri". Pada tahun 1913, dari laporan yang diajukan kepada Inspektur Pendidikan Bumiputera terdapat 358 orang siswi.

Pada tahun 1913 dibuka Sekolah Kautamaan Istri II di kota - kota di Pasundan dan Minangkabau. Hingga tahun 1926 total ada 8 sekolah yang terbentuk secara bertahap. Tugas seorang Dewi Sartika sebagai Kepala Sekolah dan ibu rumahtangga tidak membuat ia kehilangan kedisiplinan. Setiap pagi Uwi sudah tiba di sekolah, sebelum pukul 7. Siap bekerja sebelum lonceng berbunyi. Ditengah kesibukannya Uwi masih mempunyai cukup perhatian terhadap masalah - masalah yang sedang terjadi di Masyarakat. Terutama masalah yang menyangkut kemajuan dan peningkatan derajat wanita. Salah satunya adalah permasalahan pelacuran. Menurut Uwi, memberantas pelacuran sangat sukar selama gadis - gadis tidak mampu hidup berdiri sendiri di atas kaki sendiri karena mereka tidak dididik untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.
*-- Memetik Hasilnya --*

Menurut Dewi Sartika, wanita yang telah melewatkan sebagian dari tahun - tahun remajanya dalam asuhan pendidikan Kautamaan Istri hendaknya menjadi wanita "Nu bisa hirup!" Yakni, yang bisa hidup. Dimana wanita dapat dan mampu menghadapi tantangan zamannya.

Dari tahun ke tahun pendidikan wanita pun menunjukkan perkembangan pesatnya. Pada tahun 1924 ada 92.621 perempuan diantara 685.222 keseluruhan yang menuntut ilmu di sekolah desa - desa. Pemerintah pun memberi subsidi dan tenaga guru. Bahkan Sekolah Kautamaan Istri dijadikan semacam show piece atau model dari jenisnya. Para pejabat pendidikan meluangkan waktu untuk meninjau kemajuan Sekolah tersebut. Bahkan pada waktu tertentu, permintaan pendaftar sekolah tidak dapat terpenuhi karena membeludaknya.

Pada tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa perak kepada Raden Dewi Sartika. Pada tahun 1929 bersamaan dg genapnya 25 tahun Sekolah kautamaan istrix berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Pada upacara peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi, Dewi sartika mendapat bintang jasa emas dari Pemerintah.


Read more...